Ueda menyebut proyek Blok Abadi Masela, termasuk proyek energi berskala besar di kawasan Asia. Dengan faktor lokasi geografis, Masela memiliki potensi besar menggaet konsumen di benua Asia.
"Tidak banyak proyek energi skala besar di kawasan Asia. Ada [proyek] energi lain dari Amerika Serikat, dari negara-negara Timur Tengah seperti Qatar," imbuhnya.
Pembeli LNG
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan produksi LNG dari Blok Abadi Masela berpotensi di ekspor ke sejumlah negara karena masih terkendala pembeli (offtaker) dalam negeri.
"Sementara kalau di dalam negeri offtaker-nya juga relatif terbatas, ya kita juga akan memasarkan produk ini untuk ekspor," kata Yuliot.
Yuliot menambahkan hingga saat ini terdapat tiga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dipastikan menyerap LNG dari Lapangan Abadi yakni PT Pupuk Indonesia (Persero), PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. (OGAS) atau PGN dan Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN.
"Ya, untuk offtaker-nya di dalam negeri di antaranya adalah untuk Pupuk kemudian itu ada untuk industri [PGN], ada PLN," ujarnya.
Sebelumnya, Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas) berpandapangan Inpex harus cepat mencari pembeli LNG dari Lapangan Abadi, alih-alih berfokus pada investasi penambahan CCS di Blok Masela.
Terlebih, SKK Migas sudah menargetkan agar pembeli LNG dari Lapangan Abadi harus didapatkan paling lambat tahun ini, agar produksi gas di Blok Masela bisa segera dimulai.
“Kalau harus pakai CCS dan lain sebagainya kan jadi lebih kompleks. Jadi mendesain [..] ada fasilitasnya sendiri. Jadi ada tambahan lagi,” kata Ketua Komite Investasi Aspermigas Moshe Rizal saat dihubungi.
Moshe menyebut dengan penambahan fasilitas CCS, Inpex harus menambah biaya miliaran dolar untuk memproduksi LNG di Blok Masela. Lagipula, penambahan CCS juga tidak akan memberi nilai tambah bagi LNG yang diproduksi di blok tersebut.
“Memang ada yang bilang, harga LNG-nya bisa premium, kalau Jepang belinya LNG pakai CCS harga premium. Enggak juga. Jepang itu beli LNG dari Amerika Serikat [AS], Australia, dan Malaysia. Dari Timur Tengah juga sudah mulai. Itu enggak ada yang pakai CCS,” ujarnya.
Justru, menurut Moshe, harga LNG Lapangan Abadi yang dijual nantinya harus kompetitif di pasar dunia agar bisa bersaing di tingkat global.
Untuk itu, dia menyarankan agar penambahan CCS lebih baik ditunda terlebih dahulu, meski sudah disetujui pemerintah dalam rencana pengembangan atau plan of development (PoD) Blok Masela.
“Kalau saya lihat permintaan dengan CCS ini, menurut saya lebih baik ditunda dahulu, fokus ke yang ada sekarang, produksi sekarang, sehingga bisa cost effective. Harga gasnya itu bisa dipakai serendah mungkin, agar bisa bersaing di luar sana,” tambah Moshe.
Proyek Abadi Masela ditaksir sanggup memproduksi 9,5 juta ton LNG per tahun, setara dengan lebih dari 10% impor LNG tahunan Jepang. Selain itu, proyek ini juga diestimasikan mengakomodasi gas pipa 150 MMSCFD, serta 35.000 barel kondensat per hari (BCPD).
Saat ini, pemegang hak partisipasi di Blok Masela adalah Inpex Masela Ltd. dengan porsi 65%. Tadinya, sisa 35% hak partisipasi di blok tersebut dikendalikan oleh Shell Upstream Overseas Services Ltd.
Per Juli 2023, sebanyak 35% hak Partisipasi Shell dilego ke PT Pertamina Hulu Energi (PHE) Masela dan Petrolian Nasional (Petronas) Masela Berhad dengan pembagian porsi masing-masing sebesar 20% dan 15%.
(mfd/wdh)


































