"Jadi, bukan hanya CO2 yang dari Masela, tetapi dari luar juga bisa diinjeksi di situ. Jadi, sebagai hub untuk injeksi CO2-nya," ujarnya.
Pemerintah, kata dia, juga bakal mereplikasi proyek CCS di Blok Masela ke blok-blok gas lain di Tanah Air, termasuk yang masih dalam tahap pengembangan.
"Sekarang juga sedang dilakukan di proyeknya BP, UCC Tangguh. Itu sama persis," tutur Djoko.
Dalam kesempatan yang sama, Presiden dan CEO Inpex Corporation Takayuki Ueda mengakui ada tambahan biaya untuk mengimplementasikan fasilitas CCS di Blok Masela.
Tambahan biaya tersebut bakal terlihat secara konkret melalui proses desain rekayasa awal atau front end engineering and design (FEED).
“Namun, kami menekankan bahwa kenaikan biaya sebesar 5% dari total biaya badan kami akan dialokasikan untuk CCS. Jadi, kenaikan biaya sebesar 5% untuk proyek CCS,” ujarnya.
Ueda juga tak menutup kemungkinan fasilitas CCS yang akan dibangun bisa diekspor ke negara lain, termasuk Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Thailand, China, hingga Taiwan.
"Jadi kita berpikir di masa depan, proyek Abadi CCS bukan hanya menginjeksi CO2 dari proyek Abadi, tetapi juga untuk menginjeksi CO2 dari negara lain, termasuk Jepang dan Korea. Abadi CCS diharapkan menjadi proyek yang besar di dunia," jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung mengatakan implementasi CCS menjadi bukti proyek Abadi Masela dilakukan dengan standar lingkungan yang tinggi.
"Ini menunjukkan Indonesia bisa mengembangkan potensi sumber daya alam sambil tetap berpegang teguh pada prinsip good governance, bertanggung jawab terhadap lingkungan, dan mencapai target net zero emission," imbuhnya.
Sebelumnya, Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas) berpandapangan Inpex harus cepat mencari pembeli (offtaker) LNG dari Lapangan Abadi, alih-alih berfokus pada investasi penambahan CCS di Blok Masela.
Terlebih, SKK Migas sudah menargetkan agar pembeli LNG dari Lapangan Abadi harus didapatkan paling lambat tahun ini, agar produksi gas di Blok Masela bisa segera dimulai.
“Kalau harus pakai CCS dan lain sebagainya kan jadi lebih kompleks. Jadi mendesain [..] ada fasilitasnya sendiri. Jadi ada tambahan lagi,” kata Ketua Komite Investasi Aspermigas Moshe Rizal saat dihubungi.
Moshe menyebut dengan penambahan fasilitas CCS, Inpex harus menambah biaya miliaran dolar untuk memproduksi LNG di Blok Masela. Lagipula, penambahan CCS juga tidak akan memberi nilai tambah bagi LNG yang diproduksi di blok tersebut.
“Memang ada yang bilang, harga LNG-nya bisa premium, kalau Jepang belinya LNG pakai CCS harga premium. Enggak juga. Jepang itu beli LNG dari Amerika Serikat [AS], Australia, dan Malaysia. Dari Timur Tengah juga sudah mulai. Itu enggak ada yang pakai CCS,” ujarnya.
Justru, menurut Moshe, harga LNG Lapangan Abadi yang dijual nantinya harus kompetitif di pasar dunia agar bisa bersaing di tingkat global.
Untuk itu, dia menyarankan agar penambahan CCS lebih baik ditunda terlebih dahulu, meski sudah disetujui pemerintah dalam rencana pengembangan atau plan of development (PoD) Blok Masela.
“Kalau saya lihat permintaan dengan CCS ini, menurut saya lebih baik ditunda dahulu, fokus ke yang ada sekarang, produksi sekarang, sehingga bisa cost effective. Harga gasnya itu bisa dipakai serendah mungkin, agar bisa bersaing di luar sana,” tambah Moshe.
Proyek Abadi Masela ditaksir sanggup memproduksi 9,5 juta ton LNG per tahun, setara dengan lebih dari 10% impor LNG tahunan Jepang. Selain itu, proyek ini juga diestimasikan mengakomodasi gas pipa 150 MMSCFD, serta 35.000 barel kondensat per hari (BCPD).
Saat ini, pemegang hak partisipasi di Blok Masela adalah Inpex Masela Ltd. dengan porsi 65%. Tadinya, sisa 35% hak partisipasi di blok tersebut dikendalikan oleh Shell Upstream Overseas Services Ltd.
Per Juli 2023, sebanyak 35% hak Partisipasi Shell dilego ke PT Pertamina Hulu Energi (PHE) Masela dan Petrolian Nasional (Petronas) Masela Berhad dengan pembagian porsi masing-masing sebesar 20% dan 15%.
(mfd/wdh)


































