Ia menambahkan, negara pesaing berpeluang mengambil alih pasar India, “bahkan bisa membuat India tersingkir dari pasar utama meski tarif nantinya dicabut.”
Namun, beberapa sektor strategis tetap dikecualikan. Ekspor elektronik tidak masuk daftar tarif, sehingga investasi besar Apple di India masih aman. Ekspor farmasi juga tidak terdampak.
Keputusan ini mengejutkan pejabat India, terutama setelah berbulan-bulan negosiasi dagang dengan Washington. India termasuk negara pertama yang membuka pembicaraan dagang dengan pemerintahan Trump. Namun, kebijakan proteksionisme India di sektor pertanian dan produk susu sudah lama membuat AS frustrasi.
Hubungan semakin memburuk setelah Trump berulang kali mengecam India karena terus membeli minyak Rusia. New Delhi beralasan, impor tersebut membantu menstabilkan pasar energi, dan menegaskan akan terus membeli minyak dari Moskow “sesuai manfaat ekonominya.”
Meregangnya relasi dengan AS mendorong India mempererat kemitraan dengan negara-negara BRICS. Dalam beberapa bulan terakhir, New Delhi dan Beijing juga mencoba memperbaiki hubungan yang sempat memburuk setelah bentrokan perbatasan 2020. Modi bahkan dijadwalkan bertemu Presiden Xi Jinping pekan depan di sela KTT keamanan di China — kunjungan pertamanya dalam tujuh tahun terakhir.
Di saat bersamaan, India dan Rusia sepakat meningkatkan perdagangan tahunan hingga 50% menjadi US$100 miliar dalam lima tahun ke depan. Sejak invasi penuh Ukraina pada 2022, impor minyak India dari Rusia melonjak hingga menyumbang sekitar 37% ekspor minyak Rusia, menurut konsultan Kasatkin Consulting yang berbasis di Moskow.
Sempat berhenti sementara pada awal Agustus, perusahaan-perusahaan India kembali aktif membeli minyak jenis Urals dari Rusia dalam beberapa pekan terakhir.
Di tengah ketegangan ini, kunjungan tim negosiasi perdagangan AS yang dijadwalkan pada 25–29 Agustus ditunda. Hal ini menambah keraguan apakah kedua negara bisa mencapai kesepakatan dagang sebelum musim gugur, target yang sebelumnya ditetapkan saat kunjungan Modi ke Gedung Putih pada Februari lalu.
Citigroup Inc memperkirakan tarif 50% ini dapat memangkas pertumbuhan PDB India sebesar 0,6–0,8 poin persentase. Meski demikian, dampaknya mungkin terbatas mengingat ekonomi India lebih ditopang oleh permintaan domestik ketimbang ekspor. Konsumsi rumah tangga mencapai 60% PDB India, sementara ekspor ke AS pada 2024 hanya senilai 87,4 miliar dolar AS — sekitar 2% dari PDB India.
Untuk menjaga kepercayaan pasar, pemerintah Modi berjanji melakukan “reformasi generasi berikutnya,” dimulai dengan perombakan besar sistem pajak konsumsi. Opsi dukungan khusus bagi sektor padat karya seperti tekstil dan alas kaki juga sedang dibahas.
Meski begitu, pasar keuangan India sudah merespons negatif. Obligasi dan mata uang melemah, dengan rupee menjadi mata uang berkinerja terburuk di Asia tahun ini. Pasar saham India juga mencatat arus keluar dana asing hampir 5 miliar dolar AS sejak Juli.
“Harapan positifnya, tekanan eksternal ini bisa memacu India mempercepat reformasi yang tertunda,” tulis Trinh Nguyen, ekonom senior Natixis, Selasa (26/08). “Reformasi lahan, tenaga kerja, dan liberalisasi sangat dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan dan meningkatkan daya saing.”
(bbn)































