"Ini tidak mudah mendapatkan kepercayaan menjadi UN Regional Hub, karena di dalam kawasan Asia Pasifik, UN memberikan kepercayaan ke BPS untuk menjadi itu," tutur dia.
"Beberapa negara telah belajar ke Indonesia, seperti Nigeria belajar mengenai Blue Economy and Ocean Account, Vietnam belajar mengenai Data Science and Data Analysis ke BPS. Ghana, Timor Leste, Laos, dan sebagainya, bahkan Turki juga belajar mengenai Labor Cost Statistics ke BPS, dan lain-lain."
Sebelumnya, Beberapa anggota DPR Komisi X kembali mempertanyakan rilis Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2025 mencapai 5,12%.
Anggota Komisi X Fraksi Golkar Juliyatmono masih mempertanyakan asal muasal akumulasi data pertumbuhan ekonomi atau produk domestik nasional (PDB) tersebut. Padahal, lanjut dia, kondisi realitas masyarakat masih dinilai cukup susah.
"Kenyataannya orang di daerah merasakan [kehidupan] yang masih susah. Tapi ini justru bertumbuh seperti ini," ujarnya.
Dia pun kembali meminta BPS untuk lebih lanjut menjelaskan metodologi dalam penghitungan data tersebut, sekaligus menekan posisi sektor ekonomi yang mendongkrak pertumbuhan melebihi 5% tersebut.
Kritikan lain juga datang dari Fraksi Gerindra, La Tinro La Tunrung, juga menilai jika secara matematik angka tersebut sangat tidak logis, lantaran sangat berbeda jauh dari prediksi kalangan pakar ekonom hingga sejumlah lembaga peneliti ekonomi.
"Di mana kesalahannya? Memang ada faktor kebenaran. Setiap survei yang dilakukan pasti ada margin error. Tetapi, kalau melihat data pertumbuhan ekonomi dari BPS dibandingkan dengan yang lain, jika digabungkan margin errornya, maka hampir dipastikan sama angkanya [dengan prediksi ekonom], tapi itu tidak terjadi," ujar dia.
"Karena begitu banyak lembaga yang melakukan sama sekali tidak bisa diartikan hampir sama dengan hasil BPS. Jangan sampai karena ada keinginan yang lain, sehingga pemerintah bisa salah mengambil kebijakan."
(lav)































