Logo Bloomberg Technoz

Aktivitas tambang ilegal merusak hutan, meninggalkan lubang menganga tanpa reklamasi, sekaligus mengancam ekosistem satwa khususnya buaya.

“Karena pertambangan ilegal itu seluruh habitat buaya rusak. Habis ditambang itu ditinggal. Jadi konfliknya sangat tinggi sekali sehingga buaya itu lari dari habitatnya, kemudian bertemu dengan manusia,” kata Endi  saat ditemui di lokasi, medio pekan lalu.

Satwa endemik di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Alobi, Kampoeng Reklamasi Jangkang, Kabupaten Bangka. (Bloomberg Technoz/Mis Fransiska Dewi)

Menurutnya, aktivitas tambang timah di Bangka Belitung saat ini terjadi secara ugal-ugalan. Penambang bebas menambang di mana saja seperti di belakang sekolah hingga di pinggir jalan yang biasa di lalui masyarakat.

Kemudian, setelah tidak lagi ditambang malah ditinggalkan begitu saja. 

“Mereka enggak ada usaha buat perbaikan, habis ngeruk ditinggal begitu saja. Pokoknya semau-maunya mereka itu, permasalahannya itu,” ujar Endi. 

Serangan Buaya

Endi menjelaskan maraknya pertambangan ilegal di Bangka Belitung membuat masifnya kerusakan lingkungan, sehingga konflik antara buaya dan manusia makin sering terjadi dalam lima tahun terakhir. 

Bahkan, tak jarang buaya itu juga melukai sejumlah penambang ilegal hingga tewas. Dia mencatat sejak Januari—Agustus 2025, setidaknya sudah ada tujuh orang yang tewas karena diserang oleh buaya.

“Jadi hitungannya satu bulan itu, satu orang meninggal. [Korban] yang luka-luka sudah banyak. Ini yang dilaporkan ke kita ataupun terpantau oleh laporan kita. [Kasus] yang enggak terpantau, kita meyakini lebih banyak lagi jumlahnya,” jelas dia. 

Satwa endemik di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Alobi, Kampoeng Reklamasi Jangkang, Kabupaten Bangka. (Bloomberg Technoz/Mis Fransiska Dewi)

Bangka Belitung, kata Endi, juga merupakan salah satu wilayah dengan serangan buaya tertinggi di dunia. Sementara di Indonesia, Bangka Belitung menduduki peringkat ketiga setelah Riau dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan tingkat konflik tertinggi antara manusia dengan buaya.

PPS Alobi saat ini menampung sekitar 20 ekor buaya muara (crocodylus porosus) di kandang dan di kolam seluas 11 meter persegi. Sementara populasinya bakal terus bertambah sedangkan habitat alami buaya tersebut telah rusak.

“Dan sampai saat ini kita belum punya solusi yang konkret untuk penyelesaian konflik buaya ini. Karena kalau kita mau lepas liarkan juga kita enggak ada tempat lagi di [Bangka Belitung]. Bagaimana kita mau lepas? Di mana? Semuanya sudah rusak,” ujar Endi mengeluh.

Penampungan Terbatas

Di sisi lain, daya tampung kawasan suaka satwa belum memadai. Kini, total ada sekitar 120 satwa yang menjadi menghuni PPS di Kampung Reklamasi Air Jangkang.

Rusa sambar, burung merak, buaya, burung elang, kakak tua, beruang madu, hingga binturong hidup berdampingan dalam area terbatas.

Lahan dengan luas hanya 4,5 hektare (ha) tersebut tentu tidak cukup untuk terus-menerus menampung satwa liar yang akan datang. Belum lagi, sejumlah satwa di sana terus berkembang populasinya.

Satwa endemik di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Alobi, Kampoeng Reklamasi Jangkang, Kabupaten Bangka. (Bloomberg Technoz/Mis Fransiska Dewi)

Endi menyontohkan, jumlah Rusa di Kampung Reklamasi Air Jangkang telah bertambah dari semula 6 menjadi 17 ekor. Penambahan terjadi karena rusa-rusa itu telah beranak.

Tumpang Tindih

TINS sendiri menyatakan sebanyak 31% atau 145.808 ha wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) perseroan terdampak permasalahan tumpang tindih dengan sektor lain.

Sebanyak 31% WIUP tersebut tidak bisa dioperasikan secara maksimal oleh PT Timah karena beririsan dengan dengan kepentingan lain.

Perinciannya, sebanyak 288.638 ha luas WIUP darat terdampak, 83.102 di antaranya merupakan kawasan hutan produksi sehingga diperlukan pinjam pakai kawasan hutan.

Sementara itu, sebanyak 18.657 ha merupakan area perkebunan kelapa sawit sehingga diperlukan perjanjian penggunaan lahan bersama. 

Selain wilayah daratan, sebanyak 184.672 ha WIUP laut PT Timah tumpang tindih dengan sektor lain. Sebanyak 41.406 ha terdampak rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Adapun, sebanyak 2.643 ha tumpang tindih dengan kabel bawah laut sehingga diperlukan koordinasi pemindahan kabel bawah laut.

Satwa endemik di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Alobi, Kampoeng Reklamasi Jangkang, Kabupaten Bangka. (Bloomberg Technoz/Mis Fransiska Dewi)

Lebih jauh, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sempat mengindikasikan potensi kerugian TINS mencapai Rp34,49 triliun akibat potensi kehilangan sumber daya timah di wilayah kerja perseroan.

Dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II-2024, BPK menyebut TINS tidak mampu melakukan pengamanan sumber dayanya, sehingga berdampak pada dugaan praktik penambangan ilegal di WIUP TINS.

Pengamanan area penambangan yang tidak optimal tersebut dinilai berpotensi mengakibatkan kehilangan sumber daya timah pada periode 2013—semester I-2023.

Reklamasi Tambang

Kampoeng Reklamasi Air Jangkang merupkan bekas lokasi tambang PT Timah yang kemudian direklamasi dengan area seluas 36,6 hektare (ha). Aktivitas tambang di kawasan ini berakhir pada 2005. Seiring dengan proses reklamasi, lambat laun lahan di sana menghijau kembali.

Sebagian lahan di Kampoeng Reklamasi Air Jangkang atau sekitar 4,5 hektare menjadi tempat khusus untuk merehabilitasi satwa liar.

Selebihnya menjadi bagian dari wilayah edu-ecotourism yang mengintegrasikan pertanian, perkebunan, peternakan, agrowisata, hingga wisata air.

Sejak 2018, PPS di Kampoeng Reklamasi Air Jangkang dikelola oleh Alobi yang fokus pada konservasi satwa liar. Organisasi itu lantas melakukan reboisasi guna menumbuhkan hutan yang rapat.

Lahan yang dulunya gersang akibat penambangan kini menjadi rumah sementara yang layak bagi satwa-satwa endemik dan dilindungi.

"Kami tanam pohon-pohon, kami pupuk dari kosong, sehingga bisa jadi kayak gitu. Kenapa harus dibikin rapat? Itu untuk melindungi satwa," tuturnya. 

Satwa endemik di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Alobi, Kampoeng Reklamasi Jangkang, Kabupaten Bangka. (Bloomberg Technoz/Mis Fransiska Dewi)

Melalui program tanggung jawab sosial dan corporate social responsibility (CSR) PT Timah, PPS Alobi mendapat dukungan berupa fasilitas kandang, biaya operasional, hingga gaji pegawai.

Kerja sama tersebut semula hanya berdurasi dua tahun, namun saat ini diperpanjang hingga 2027.

Kolaborasi itu, kata Endi, hadir di tengah kelangkaan program CSR perusahaan tambang yang menyentuh aspek konservasi satwa.

Lantaran sebagian besar perusahaan tambang berkutat pada aspek sosial seperti membangun sekolah, rumah sakit, atau memberi bantuan pada masyarakat.

"[Pihak] yang sebenarnya terdampak [tambang] adalah satwa liar. Enggak banyak program yang dijalankan oleh perusahaan tambang. Akan tetapi, dengan PT Timah, kami lakukan itu," ucapnya.

Endi berharap perusahaan-perusahaan tambang lainnya turut memperhatikan pelestarian satwa. Dia mengingatkan, saat aktivitas pertambangan berlangsung, satwa liar mengalami dampak langsung karena mereka kehilangan habitatnya.

"Perusahaan tambang itu bersentuhan langsung dengan lingkungan, dan mereka punya kemampuan finansial. Jadi, mestinya mereka juga bertanggung jawab terhadap satwa liar yang paling terdampak," imbuhnya.

PPS Alobi sendiri yang sudah lebih dari satu dekade berfokus pada konservasi satwa liar di Bangka Belitung menjalankan fungsi rescue, rehab, dan release.

Alobi menyelamatkan dan merehabilitasi satwa-satwa liar yang datang dari berbagai jalur seperti sitaan aparat, konflik manusia dan hewan, hingga penyerahan sukarela dari masyarakat.

Setelah merehabilitasi, mereka melepasliarkan satwa-satwa itu ke habitat alaminya. Hingga kini, PPS Alobi telah berhasil melepas setidaknya 8.000 satwa ke alam liar. Sejumlah tersebut merupakan spesies endemik dari Bangka, seperti kukang (nycticebus coucang), trenggiling, rusa sambar, hingga berbagai jenis elang.

Ada pula binturong, satwa endemik yang sering kali diburu untuk praktik perdukunan warga lokal. Mengingat ancaman perburuan yang masih tinggi, Alobi belum melepas satwa-satwa endemik Bangka seperti binturong ke habitat alaminya.

"Kalau endemik Bangka, harus dilepas di Bangka. Tidak boleh sembarangan dipindahkan ke luar daerah," jelas Endi. 

Penambang bijih timah ilegal jenis Ponton Isap Produksi (PIP) di WIUP PT Timah, Laut Cupat, Bangka Barat, Kepulauan Bangka./Bloomberg Technoz-Mis F.

Dalam kesempatan terpisah, Sekretaris Perusahaan PT Timah Rendi Kurniawan mengungkapkan perseroan turut mendukung kegiatan operasional Kampoeng Reklamasi Air Jangkang.

Akan tetapi, Rendi tidak mengetahui detail berapa perincian alokasi anggaran operasional tempat rehabilitasi satwa liar tersebut.

Menurutnya, tempat tersebut juga menjadi sarana untuk mengedukasi masyarakat dalam pelestarian hewan hingga bercocok tanam. 

Selain menyulap lahan bekas tambang menjadi suaka satwa dan agrowisata, Rendi menyebut lahan eks tambang PT Timah juga dimanfaatkan untuk kuburan umum hingga sarana olahraga seperti track trail untuk berlari.

Kemudian di Belitung juga terdapat budidaya nanas badau yang khas dari daerah tersebut.

“Jadi memang kita selalu melihat apa kebutuhan ataupun yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam bentuk pemanfaatan lahan bekas tambang dalam bentuk yang lainnya. Selain ditanami, dipergunakan untuk perkebunan dan lainnya,” kata Rendi saat dihubungi. 

Kesadaran untuk melindungi dan melepas liarkan satwa liar buntut pertambangan ilegal menjadi napas segar bagi pelestarian alam Bangka Belitung. Kolaborasi dengan korporasi belum cukup menuntaskan masalah.

Tanpa peran pemerintah yang kuat dalam melindungi kawasan hutan, hasil dari rehabilitasi satwa tetap terancam tidak maksimal. Banyak satwa liar sudah siap dilepas, tetapi tidak bisa kembali ke alam karena hutan telah lenyap.

(mfd/wdh)

No more pages