Adapun, perincian subsidi energi itu berasal dari komponen belanja Jenis BBM Tertentu (JBT) Solar dan minyak tanah (kerosene) serta LPG 3 Kg sebesar Rp105,4 triliun, dan listrik sebesar Rp104,6 triliun. Anggaran subsidi JBT dan LPG 3 Kg itu naik 11,2% dari outlook Tahun Anggaran 2025 sebesar Rp94,79 triliun.
Perhitungan anggaran subsidi Solar dan LPG 3 Kg pada 2026 menggunakan asumsi kurs dan subsidi tetap minyak solar (gasoil/diesel) Rp1.000 per liter. Adapun, volume BBM jenis solar dipatok sebesar 18,63 juta kiloliter (kl) dan minyak tanah sebesar 526.000 kl.
Subsidi JBT dan LPG 3 Kg pada 2026 diarahkan untuk melanjutkan pemberian subsidi tetap BBM solar dan subsidi selisih harga minyak tanah. Kebijakan ini, diklaim akan disertai pengendalian volume dan pengawasan atas golongan atau sektor yang berhak.
Lalu, pemerintah menyatakan akan melanjutkan kebijakan subsidi BBM tepat sasaran, langkah ini disebut dapat meningkatkan efisiensi belanja subsidi. Nantinya, penyaluran BBM bersubsidi dilakukan dengan registrasi konsumen pengguna.
“Dalam rangka memastikan upaya pengendalian konsumsi berhasil dilakukan, maka diperlukan sinergi dan koordinasi antar K/L [kementerian/lembaga] dengan pemerintah daerah maupun instansi terkait lainnya,” tulis pemerintah.
LPG Terintegrasi
Selain itu, pemerintah menyatakan akan melanjutkan upaya transformasi subsidi LPG 3 Kg tepat sasaran menjadi berbasis penerima manfaat dan terintegrasi.
Mulai 2026, pengguna LPG 3 Kg akan didata oleh pemerintah menggunakan teknologi yang terpusat dan para penerima manfaat harus tercantum dalam DTSEN atau merupakan penerima bantuan sosial (bansos).
“Pelaksanaan transformasi ini dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan kesiapan data, infrastruktur serta kondisi ekonomi dan sosial masyarakat,” tegas pemerintah dalam Buku Nota Keuangan.
Di sisi lain, anggaran subsidi listrik Rp104,6 triliun turut mengalami kenaikan sebesar 17,5% dari posisi outlook APBN 2025 sebesar Rp89,07 triliun.
Peningkatan alokasi ini disebabkan karena naiknya biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik serta peningkatan volume listrik bersubsidi.
Pemerintah menerangkan kenaikan BPP ini disebabkan karena perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, peningkatan pemakaian bahan bakar biomassa untuk cofiring pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan kenaikan bauran energi bahan bakar minyak (BBM) di daerah tertinggal.
Mulai 2026, subsidi listrik akan diarahkan untuk rumah tangga miskin dan rentan yang tercantum dalam DTSEN disertai dengan penyesuaian tarif untuk pelanggan nonsubsidi.
Selain itu, subsidi listrik akan didorong untuk mencapai transisi energi yang lebih efisien dan adil dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, fiskal, dan lingkungan.
“Pemerintah telah berkomitmen untuk mengurangi dampak emisi melalui penerapan pemanfaatan energi bersih dan ramah lingkungan. Hal ini dilakukan khususnya dengan transisi energi dari pemanfaatan energi yang berbasis fosil menuju EBT,” tegas pemerintah.
(azr/wdh)






























