Dalam sidang terakhir, MK telah mendengar keterangan dari perwakilan DPR dan perwakilan Presiden. Pemerintah menegaskan bahwa sanksi pidana dalam UU Hak Cipta bersifat ultimum remedium atau jalan terakhir jika penyelesaian perdata gagal.
MK juga menunjuk Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI), serta Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) sebagai pihak terkait. Sejumlah musisi populer, termasuk Sammy Simorangkir dan Lesti Kejora, telah dihadirkan sebagai saksi.
Hingga Rabu (13/8/2025), belum ada putusan final dari MK. Namun, putusan nantinya diperkirakan akan berpengaruh besar pada ekosistem musik dan ekonomi kreatif nasional.
Dampak Ekonomi
Jika MK memutuskan pembayaran royalti cukup melalui LMK tanpa izin langsung pencipta, industri hiburan seperti kafe, restoran, karaoke, dan event organizer bisa lebih mudah menghitung kewajiban mereka, menekan biaya transaksi, dan mempercepat pertumbuhan pasar hiburan. Sementara itu, pencipta juga berpotensi menerima distribusi royalti yang lebih transparan karena alurnya terpusat.
Namun, jika MK tetap mempertahankan mekanisme izin ganda, biaya kepatuhan akan meningkat. Kondisi ini berpotensi menekan margin usaha di sektor live music dan perhotelan, bahkan bisa menurunkan minat pelaku usaha untuk menggunakan musik berlisensi. Dalam jangka panjang, praktik tersebut dapat mengurangi potensi royalti yang menurut riset Indonesian Business Council bisa mencapai triliunan rupiah per tahun, namun hingga kini realisasinya baru sekitar Rp77 miliar per tahun.
Di sisi lain, jika MK memperkuat ketentuan pengembalian hak ekonomi setelah 25 tahun, dampaknya akan signifikan bagi label rekaman seperti Musica Studios. Model bisnis yang bertumpu pada kepemilikan jangka panjang atas katalog musik bisa tergerus, meski di sisi lain pencipta mendapat posisi tawar lebih kuat untuk memonetisasi karyanya kembali. Hal ini berpotensi menciptakan dinamika baru dalam valuasi katalog musik di Indonesia, yang selama ini cenderung undervalued dibanding pasar global.
(fik/spt)































