Namun, sejumlah aspek pendukung seperti infrastruktur pendukung, biaya logistik, dan lokasi dibangunnya kilang bisa membuat bengkak anggaran pembangunan jika tidak dipertimbangan secara cermat.
“Memang semua mudah, seolah-olah modular bisa murah nih. Cuma di luar situ, infrastruktur pendukungnya, logistiknya, untuk lahannya dan sebagainya itu enggak mudah, dan itu semua biaya memang harus dipertimbangkan,” kata Moshe ketika dihubungi, dikutip Selasa (29/7/2025).
Tidak Permanen
Dihubungi secara terpisah, Direktur Utama PT Petrogas Jatim Utama Cendana (PJUC) Hadi Ismoyo menjelaskan kilang konvensional merupakan fasilitas pengolahan minyak yang dibangun secara permanen di satu lokasi.
Kilang konvensional, lanjut Hadi, dirancang untuk mengolah minyak mentah menjadi berbagai produk bahan bakar minyak (BBM) dalam volume besar.
Sebeliknya, kilang modular dibangun dalam bentuk modul-modul yang dapat disesuaikan dengan volume dan kapasitas tertentu. Kilang jenis ini, memiliki kapasitas produksi yang lebih kecil dari kilang konvensional dan dapat dibongkar-pasang sewaktu-waktu.
“Kilang [modular] didesain per modul yang disesuaikan dengan volume dan kapasitasnya sesuai kebutuhan. Bisa dibongkar dan dipindahkan kembali sewaktu-waktu jika dibutuhkan, sangat fleksibel dalam desain teknis dan kapasitasnya,” kata Hadi.
Hadi meyakini kilang modular dapat dibangun di Tanah Air, dengan catatan minyak mentah yang diolah harus memiliki spesifikasi sesuai dengan fasilitas yang dibangun.
Mesti Terintegrasi
Lebih lanjut, Hadi berpendapat, jika kilang modular tersebut dibangun di Indonesia, sebaiknya proyek penyulingan itu diintegrasikan dengan industri petrokimia.
Langkah tersebut dinilai perlu dilakukan agar produk hasil olahan kilang memiliki nilai jual yang lebih tinggi, sehingga proyek kilang modular yang direncanakan tetap menarik bagi investor.
Hadi menyebut, masing-masing kilang modular tersebut dapat mengolah minyak mentah menjadi berbagai jenis bahan bakar minyak (BBM), serta sebagian lainnya menjadi produk hulu industri petrokimia seperti nafta.
“Sehingga turunan kilang ke satu, dua, tiga dan seterusnya bisa dalam satu lokasi agar efisien, keluar sudah dalam bentuk produk yang bernilai tinggi,” kata dia.
Nafta juga dapat diolah lebih lanjut menjadi bahan baku industri petrokimia untuk memproduksi plastik, nilon, serat sintetis, dan berbagai jenis polimer lainnya.
“Dengan lokasi terintegrasi, saving a lot dari sisi transport cost dan logistic support-nya. Contoh Kilang Ambani Bersaudara di India, memecahkan mitos menjadikan kilang terintegrasi yang profitable,” tegas Hadi.
Gandeng AS
Dalam kesempatan terpisah, Chief Executive Officer (CEO) BPI Danantara mengatakan tengah mengevaluasi segala potensi investasi, termasuk kilang modular dengan AS, tetapi lebih memprioritaskan proyek-proyek di dalam negeri terlebih dahulu.
“Kita bilangnya 80% fokus di Indonesia, 20% di luar Indonesia. Kita lihat semua, tidak hanya di AS, tetapi di negara lain. [Hal] yang penting, bagaimana kami investasi itu ada transfer teknologi dan penciptaan lapangan kerjanya,” kata Rosan ditemui di kompleks Istana Negara, Selasa (22/7/2025).
Tidak hanya itu, pertimbangan lain yang dikaji Danantara adalah prospek pengembalian atau return dari investasinya harus sesuai dengan tolok ukur yang ditetapkan Danantara, yaitu “di atas biaya modal.”
Adapun, sumber Reuters sebelumnya melaporkan Danantara berniat meneken kontrak rekayasa, pengadaan, dan konstruksi (EPC) senilai US$8 miliar (sekitar Rp130,52 triliun asumsi kurs saat ini) dengan perusahaan AS, KBR Inc. (sebelumnya Kellogg Brown & Root), untuk membangun 17 kilang modular.
Informasi tersebut didapatkan dari presentasi resmi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, dalam kaitannya dengan kesepakatan dagang usai penurunan tarif bea masuk dari 32% menjadi 19% yang diberikan terhadap komoditas ekspor RI ke AS.
(azr/wdh)

































