Logo Bloomberg Technoz

Perusahaan-perusahaan China, yang diperkirakan akan mengambil alih, tidak menggunakan menyewa ruang sebanyak yang diharapkan karena tengah berjuang keras naikkan ekonomi mereka sendiri. Serentetan bangunan baru akan semakin menambah pasokan sementara .

“Pasarnya sedang menantang,” kata Eddie Kwok dari CBRE Group Inc. “Penurunan harga mungkin melambat, tapi sulit untuk rebound (naik kembali).”

Kemerosotan penyewaan gedung kantor sangat menonjol di Hong Kong usai bertahun-tahun melawan pandemi, belum lagi adanya langkah-langkah keamanan ketat dari Beijing yang memicu eksodus keluarga.

Namun, ruang kantor seluas 13 juta kaki persegi masih kosong. Tingkat kekosongan dalam keseluruhan grade A hampir mencapai 15% pada bulan April, menurut data dari Colliers International Group Inc. Angka tersebut lebih tinggi tiga kali lipat dari 2019, dan berada di atas wilayah Manhattan sebesar 12,5% dan 4,6% di atas level Singapura.

Tak seperti di New York atau London, tuan tanah Hong Kong tidak dapat menyalahkan gerakan WFH untuk menjelaskan sebagian besar penurunan tersebut. Mengingat sistem kereta bawah tanah kota yang sangat efisien dan apartemen kecil, warga Hong Kong cenderung tidak menyalakan laptop mereka di rumah. Kota tersebut kembali beroperasi, dengan jumlah penumpang kereta bawah tanah yang melampaui level 2019 pada bulan Maret, sementara di New York masih 65% dari angka pra-pandemi.

Sebaliknya, tuan tanah Hong Kong mulai kehilangan pelanggan terbaik mereka. Saat iklim bisnis memburuk di China di tengah meningkatnya ketegangan dengan AS, bank-bank Wall Street mengurangi rencana ekspansi. Hong Kong, di mana banyak bankir yang berfokus pada operasi bisnis China, kena getahnya karena industri keuangan menempati hampir 30% ruang kantor.

Hong Kong (Sumber: Bloomberg)

Morgan Stanley sedang mempertimbangkan untuk memangkas 7% tenaga kerja bidang investasi Asia-Pasifik setelah memberhentikan sekitar 50 pekerjaan tahun lalu, Bloomberg melaporkan. JPMorgan telah melepaskan sekitar 30 bankir investasi di Asia, termasuk yang berbasis di Hong Kong. Perusahaan sepergi Deutsche Bank AG, Standard Chartered Plc, dan BNP Paribas SA telah menghentikan sewa ruang atau beralih ke perusahaan inti untuk memangkas biaya. FedEx Corp. memindahkan kantor pusatnya di Asia-Pasifik ke Singapura.

Ketika bank global mundur, perusahaan China tidak mengisi kekosongan dengan cukup cepat, bahkan setelah pembatasan perbatasan dicabut. Sementara perusahaan seperti ByteDance Ltd. dan PetroChina Co. menyewa ruang, mereka hanya menyumbang 11% dari sewa baru pada kuartal pertama, dibandingkan dengan rata-rata 15% antara 2017 dan 2019, menurut CBRE. Mereka juga menghasilkan hanya 8% dari pembelian properti komersial pada periode tersebut, yang artinya turun 19% sebelum pandemi.

Sementara itu, pengembang seperti CK Asset Holdings Ltd. dan Henderson Land Development Co. terus membangun gedung pencakar langit. Setidaknya akan ada tujuh juta kaki persegi ruang Grade A yang akan hadir di pasar dalam tiga tahun ke depan, menurut perkiraan CBRE. Tingkat penyerapan tahunan sebelum Covid hanya 1,8 juta kaki persegi, sehingga butuh bertahun-tahun untuk mengisi ruang baru, kata Kwok.

“Pasti ada penurunan tingkat penyerapan karena ekspansi perusahaan global melambat, dan perusahaan China daratan masih meluangkan waktu untuk memutuskan apakah akan datang ke Hong Kong,” katanya.

CK Asset, perusahaan induk Li, tidak membalas permintaan komentar. Begitu juga Henderson Land, perusahaan miliarder Lee.

Penurunan kebutuhan akan kantor meredam kesepakatan dan penyewaan. Jumlah transaksi sewa kantor hampir mencapai setengahnya pada kuartal pertama dari rata-rata lima tahun terakhir, penurunan yang lebih besar daripada di AS, menurut MSCI Real Assets.

Sementara itu, harga untuk kantor premium turun 26% di bulan Maret dari puncaknya di tahun 2018, dan harga sewa turun 29% dari empat tahun lalu. Meskipun itu adalah kabar baik bagi penyewa di pasar yang masih memiliki biaya hunian tertinggi di dunia, ini merupakan pukulan bagi tuan tanah. Banyak dari mereka membayar mahal untuk membangun proyek yang muali beroperasi sekarang.

Gedung Cheng Kong Center. (Fotografer: Paul Yeung/Bloomberg)

Seiring perkembangan zaman, Pamfleet, firma ekuitas swasta yang berbasis di Hong Kong, yang sekarang dimiliki oleh Schroders Plc, menjual gedung komersial di Kowloon seharga HK$350 juta (senilai Rp667 miliar) pada Februari, kurang lebih sama dengan harga yang dibayarkan pada tahun 2015, dan diskon besar dari harga yang ditawarkan sebesar HK$600 juta. Nilai untuk gedung perkantoran en-bloc akan turun 5% menjadi 10% pada tahun 2023, berdasarkan perkiraan CBRE.

Yang paling rugi dalam penurunan ini adalah pengembang China seperti China Evergrande Group dan Cheung Kei Group Co. yang menghabiskan banyak uang untuk membeli properti trofi beberapa tahun lalu. Karena krisis properti di China daratan menunjukkan sedikit tanda-tanda mereda, para pengembang dapat membiayai kembali atau melepaskan properti mereka untuk memenuhi kebutuhan pendanaan.

“Penurunan harga perkantoran yang signifikan dan tingkat kekosongan yang sangat tinggi di Hong Kong dapat mendorong lebih banyak pengembang China untuk membung rugi properti mereka melalui penjualan aset yang tertekan,” tulis analis Bloomberg Intelligence, Patrick Wong dan Ken Foong dalam sebuah catatan. Mereka mengatakan harga kantor bisa turun lebih jauh tahun ini, setelah turun lebih dari sepertiga sejak 2018.

Pasar komersial yang lemah mengambil korban pada saham real estate dan trust investasi. CK Asset dan Henderson Land termasuk di antara pengembang yang sahamnya anjlok lebih dari 8% tahun ini, dua kali lipat penurunan di pengukur ekuitas utama Hong Kong.

Para taipan seperti Li dan keluarga Kwok di Sun Hung Kai Properties Ltd. harus mempu menghadapi penurunan dengan uang mereka yang cukup, dan sumber pendapatan lain dari properti hunian dan pusat perbelanjaan. Kantor real estat menyumbang kurang dari 10% keuntungan untuk perusahaan-perusahaan tersebut, kata Mark Leung, seorang analis di UBS Group AG.

“Bagi mereka yang kaya atau pemain lokal besar, mereka tidak memiliki tekanan untuk menjual aset dengan diskon besar di pasar saat ini,” kata Rossana Tang, direktur eksekutif di Cushman & Wakefield Plc.

Bahkan dengan penurunan harga, investor global memiliki sedikit alasan untuk terjun ke pasar, mengingat prospek yang lesu dan imbal hasil yang rendah, kata seorang eksekutif di perusahaan ekuitas swasta asing yang menolak disebutkan namanya. Perubahan wajah Hong Kong, dengan banyaknya ekspatriat yang pergi, membuat niat untuk membangkitkan kembali minat lebih sulit, katanya.

“Tidak akan ada banyak investor institusi Barat di Hong Kong” dengan semua ketegangan geopolitik, kata Neil Brookes, kepala pasar modal global di Knight Frank LLP.

—Dengan asistensi dari Cathy Chan.

(bbn)

No more pages