"Jadi, angka kemiskinan itu kita ikut pada angka statistik BPS, karena tentu data kemiskinan masing-masing negara itu berbeda, dan yang paling penting adalah soal Purchasing Power Parity," tutur dia.
Dalam kesempatan terpisah, BPS menjelaskan alasan masih menggunakan metode acuan standar kemiskinan tersebut, yang masih mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.
"Kami menyesuaikan metodenya, tapi karena kami masih ada RPJMN 2025-2029, agar berkesinambungan," ujar Ateng dalam konferensi pers di kantornya.
Meski begitu, Ateng mengatakan otoritas statistik negara hingga saat ini terus melakukan penyempurnaan metode pengkajian data melalui pembahasan secara paralel bersama stakeholder.
"Berbagai masukan dari Bappenas ataupun para pakar juga kami terus adopsi masukan dalam penyempurnaan metode kemiskinan," tutur dia.
Kami akan menunggu saja sebagai tim teknis. Ketika akan diimplementasikan, ataukah 2026, kami akan tetap menunggu. Kami terus lakukan persiapan. Kajian ini sudah terus kita lakukan."
(ain)































