Logo Bloomberg Technoz

Menurutnya, kombinasi beban biaya impor plus pelemahan rupiah makin membuat pemerintah tidak rasional dalam menerima hasil negosiasi dengan Presiden AS Donald Trump. 

Dua Pertimbangan

Praktisi industri migas Hadi Ismoyo menambahkan pemerintah perlu memperhatikan dua hal jika hendak mengimpor LNG dari AS, yaitu faktor kontrak jangka panjang dengan pembeli dan aspek infrastruktur gas di dalam negeri.

Hadi—yang juga Direktur Utama PT Petrogas Jatim Utama Cendana (PJUC) — berpendapat sumber daya gas di Indonesia dalam bentuk LNG sebenarnya melimpah. Namun, kedua hal di atas kerap menjadi kendala dalam pemenuhan kebutuhan domestik. 

“Banyak sekali kontrak jangka panjang dengan end buyer yang tidak mudah diputus begitu saja, karena dilindungi hukum perdagangan internasional. Walhasil, komitmen harus dipenuhi,” terangnya.

Dengan kata lain, dalam jangka pendek, jika konsumen domestik membutuhkan gas alam cair secara urgen; tidak ada jalan lain Indonesia memang harus menempuh jalur impor.

“Persoalan klasik di RI saat ini adalah kekurangan infrastruktur gas, sehingga banyak juga alokasi LNG domestik tidak terserap karena tidak adanya infrastruktur gas terintegrasi mulai dari terminal LNG regas, pipa transmisi, pipa distribusi, hingga pipa jaringan rambut ke end user; baik konvensional maupun virtual pipeline,” ujarnya.

Dalam jangka menengah dan panjang, kata Hadi, pemerintah harus membuat strategi besar untuk membangun infrastukture gas terintegratsi untuk mendukung program konversi BBM/LPG Gas yg lebih kompetetive

Senada, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi dan Batu bara Indonesia (Aspebindo) Fathul Nugroho menuturkan Indonesia sejatinya mulai kekurangan gas, bukan karena produksinya yang tidak mencukupi, tetapi ada beberapa fasilitas LNG domestik yang sudah punya kontrak jangka panjang dengan pembeli luar negeri.

“Seperti BP Tangguh, serta melalui gas pipa Conocophillips ke Singapore, jadi kebutuhan gas domestik dapat di support dengan LNG impor dari AS seiring dengan momentum kesepakatan tarif,” ujarnya.

Selain itu, kata Fathul, harga LNG dari AS sebenarnya terbilang murah. Hanya saja, biaya transportasi yang membuat biaya impor menjadi lebih tinggi karena jarak AS lebih jauh dari Timur Tengah. 

Sebuah pengangkut gas alam cair (LNG), yang dioperasikan oleh Nigeria LNG Ltd./Bloomberg-Zed Jameson

Tak Akan Impor

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memastikan komoditas LNG tidak masuk dalam kesepakatan impor migas dengan AS senilai US$15,5 miliar.

Bahlil mengatakan rencana impor migas dari AS sebagai bagian dari perundingan tarif bakal mencakup komoditas minyak mentah, bahan bakar minyak (BBM), dan gas minyak cair atau liquefied petroleum gas (LPG).

“Yaitu apa namanya LPG, crude, BBM, ada 3 item dan saya sudah sampaikan berkali-kali,” kata Bahlil ditemui di Kementerian ESDM, Jumat (18/7/2025).

Bahlil membeberkan pemerintah telah mengalokasikan kuota impor migas dari AS sekitar US$10 miliar sampai dengan US$15 miliar sebagai bagian dari perundingan tarif.

Impor migas dilakukan menyusul kesepakatan dagang antara RI-AS usai diturunkannya tarif bea masuk timbal balik terhadap komoditas Tanah Air yang diekspor ke Negeri Paman Sam dari 32% menjadi 19% dan berlaku mulai 1 Agustus 2025.

Polemik mengenai wacana impor LNG juga menyeruak akhir-akhir ini setelah Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan pemerintah membuka opsi untuk pengadaan gas luar negeri karena harga domestik makin mahal dan membebani industri.

Terlepas dari wacana impor, Indonesia sebenarnya digadang-gadang bakal menjadi salah satu produsen LNG terbesar di kawasan. Produksi di dalam negeri pun disebut bakal sangat mencukupi.

Menurut laporan BMI—lengan riset Fitch Solutions, bagian dari Fitch Group — Indonesia siap menjadi raksasa produsen LNG di Asia Tenggara, seiring dengan adannya potensi tambahan 40 miliar meter kubik atau billion cubic meter (bcm) sumber daya hingga 2030.

BMI menyebut Indonesia kaya dengan proyek gas greenfield yang akan mengerek pasokan gas baku untuk produksi LNG sepanjang 2024—2030.

“Kami memperkirakan sekitar 40 bcm gas alam tambahan akan diproduksi dari proyek-proyek mendatang ini, yang sebagian besar ditujukan untuk memasok gas baku ke pabrik-pabrik LNG yang baru dan yang sudah ada,” papar tim peneliti BMI dalam laporan Desember tahun lalu.

-- Dengan asistensi Azura Yumna Ramadani Purnama

(wdh)

No more pages