Terlebih, ihwal redenominasi atau perubahan harga mata uang rupiah merupakan substansi yang terkait dengan norma Pasal 3 ayat (5) UU 7/2011 yang menyatakan, "Perubahan harga Rupiah diatur dengan Undang-Undang".
Artinya, berdasarkan ketentuan tersebut dikehendaki bahwa setiap perubahan nilai nominal rupiah, termasuk dalam bentuk redenominasi, wajib ditetapkan dengan undang-undang. Dengan demikian, redenominasi yang merupakan penyederhanaan nominal mata uang tanpa mengubah nilai tukar atau daya beli, harus dilakukan oleh pembentuk undang-undang.
"Untuk maksud tersebut, pemohon seharusnya memperjuangkan melalui pembentuk undang-undang. Sebab kebijakan redenominasi mata uang rupiah tidak dapat dilakukan hanya dengan mengubah atau memaknai norma sebagaimana yang dimohonkan pengujian oleh pemohon. Kebijakan redenominasi mata uang rupiah pada dasarnya merupakan kebijakan fundamental yang memiliki konsekuensi luas terhadap sistem moneter, transaksi keuangan, dan psikologi ekonomi masyarakat."
Sebagai kebijakan moneter yang berdampak terhadap sistem keuangan negara dan perilaku ekonomi masyarakat sehingga menjadi ranah pembentuk undang-undang untuk merumuskan kebijakan redenominasi mata uang rupiah berdasarkan pertimbangan ekonomi, sosial, dan stabilitas nasional.
Sebelumnya, sebagai warga negara Indonesia, pemohon senantiasa menggunakan rupiah sebagai alat transaksi resmi. Namun dalam praktiknya, pemohon mengalami kesulitan akibat banyaknya angka nol pada pecahan rupiah, khususnya dalam transaksi digital seperti QRIS.
Kesalahan pernah terjadi ketika pemohon melakukan pembayaran di swalayan menggunakan QR Code, di mana jumlah nominal yang besar menyebabkan kekeliruan karena angka nol yang terlalu banyak dan seragam. Hal ini menimbulkan keresahan karena risiko kesalahan cukup tinggi dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut pemohon, permasalahan tersebut juga berdampak pada aspek keamanan dan kepercayaan dalam bertransaksi. Angka nol yang berulang meningkatkan peluang kesalahan input, terlebih dalam sistem digital yang tidak menyediakan ruang koreksi setelah transaksi selesai. Jika ditambah dengan faktor ketidakjujuran petugas atau sistem, maka potensi kerugian semakin besar.
Kondisi ini tidak hanya dialami oleh Pemohon, tetapi juga oleh masyarakat luas yang semakin bergantung pada sistem pembayaran non-tunai. Selain di dalam negeri, pemohon juga menghadapi kendala ketika berada di luar negeri, seperti di Singapura.
"Rupiah dianggap tidak praktis karena nilai nominalnya yang terlalu besar namun memiliki daya beli yang rendah. Banyak tempat penukaran uang menolak rupiah karena rendahnya nilai tukar dan persepsi bahwa rupiah tidak likuid."
Sebagai perbandingan, 1 Dolar Singapura setara dengan lebih dari Rp12.800, dan 1 Dolar AS bahkan lebih dari Rp16.800, mencerminkan ketimpangan nominal yang menghambat penggunaan rupiah di tingkat internasional.
Menurutnya, ketimpangan ini tidak hanya berdampak secara praktis, tetapi juga menyentuh aspek psikologis dan martabat bangsa. Pemohon merasa malu ketika menjelaskan kepada orang asing mengenai nilai rupiah yang besar tetapi lemah secara daya beli.
Pemohon berpendapat bahwa redenominasi akan memperkuat efisiensi transaksi, meningkatkan citra rupiah dan mengangkat martabat bangsa baik secara ekonomi maupun psikologis.
Sayangnya, pemohon menganggap belum ada pengaturan yang jelas mengenai hal ini dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, terutama dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf c. Sehingga pemohon merasa mengalami kerugian konstitusional atas hak untuk mengembangkan diri dan memperoleh keadilan.
(lav)

































