Bloomberg Technoz, Jakarta - Rupiah kemungkinan masih akan menghadapi tekanan pelemahan lanjutan dalam perdagangan di pasar spot, di hari ketika Dewan Gubernur Bank Indonesia memulai pertemuan bulanan untuk merumuskan kebijakan moneter, termasuk suku bunga acuan BI rate.
Potensi pelemahan rupiah spot hari ini terendus dari pergerakan di pasar derivatif offshore. Kontrak rupiah nondeliverable forward (NDF) kemarin ditutup melemah 0,3% di level Rp16.292/US$ di penutupan bursa New York.
Pelemahan rupiah offshore sulit dilepaskan dari kebangkitan the greenback. Indeks dolar AS, DXY, kemarin juga ditutup menguat 0,23% dan pagi ini masih bergerak menguat melampaui level 98.
Posisi rupiah NDF pagi ini di bursa Singapura bergerak mendekati Rp16.300/US$, cukup berjarak dengan posisi penutupan rupiah spot kemarin di Rp16.245/US$. Hal itu mengindikasikan, gerak rupiah spot hari ini kemungkinan cenderung melemah mendekati level support terdekat.
Lanskap global masih diliputi kewaspadaan akan perkembangan kebijakan tarif AS yang pemberlakuannya baru akan dimulai 1 Agustus nanti. Meski pagi ini bursa saham Asia terlihat mengabaikan sentimen tarif dengan dibuka di zona hijau, akan tetapi bagi rupiah cerita yang sama belum tentu terjadi.
Pangkalnya ada pada perkembangan di pasar obligasi pemerintah AS, US Treasury. Tingkat imbal hasil alias yield UST di semua tenor kemarin bergerak naik terutama untuk tenor panjang 30Y.
Pergerakan yield UST yang merangkak naik kemungkinan karena investor mengantisipasi rilis data inflasi CPI Amerika bulan Juni pada pekan ini yang angkanya diperkirakan lebih tinggi daripada bulan sebelumnya.
Di sisi lain, perkembangan isu 'penggusuran' Gubernur Federal Reserve Jerome Powell juga membuat pasar gelisah.
Kenaikan yield Treasury tersebut mempersempit selisih imbal hasil investasi surat utang RI. Pagi ini, selisih yield UST dengan Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10Y yang jadi acuan, menyempit jadi 214 bps.
Penyempitan itu mungkin akan membuat dana asing mengurangi penempatan di aset pendapatan tetap rupiah, terlebih ketika mata uang lokal cenderung melemah.
Hari ini, Kementerian Keuangan akan menggelar lelang Surat Utang Negara dengan target Rp27 triliun. Pemerintah juga mulai menawarkan (bookbuilding) SBN ritel yakni seri SBR014, saving bond ritel, dengan tenor 2 tahun dan 4 tahun. Masing-masing tenor menawarkan imbal hasil 6,25% dan 6,35% dan skema kupon floating with floor.
Kebijakan BI Rate
Hari ini, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia bulan Juli akan dimulai di mana hasilnya akan diumumkan pada Rabu siang, termasuk kebijakan suku bunga acuan BI rate.
Hasil konsensus pasar yang dihimpun oleh Bloomberg sampai Selasa pagi ini, menghasilkan angka median 5,5%. Itu berarti mayoritas pelaku pasar memperkirakan BI rate akan kembali ditahan di level 5,5% seperti saat ini.
Terakhir kali BI rate dipangkas sebanyak 25 bps adalah saat RDG bulan Mei lalu. Tahun ini, bunga acuan sudah diturunkan 50 bps, termasuk pertama kali pada Januari silam.
Meski konsensus pasar memperkirakan BI rate tetap, sebanyak 14 ekonom dari 31 yang disurvei memperkirakan BI akan memangkas bunga acuan sebanyak 25 bps pada pertemuan bulan ini.
Indikator ekonomi domestik yang menunjukkan kelesuan menjadi alasan terbesar mengapa suku bunga acuan perlu diturunkan lagi, ketika tingkat inflasi juga terkendali di kisaran rendah.
Selain itu, meski selama Juli ini rupiah mencatat pelemahan tipis 0,04% month-to-date, kinerja rupiah masih lebih baik dibanding mata uang negara tetangga yang ambles lebih banyak.
Bahkan, dibanding posisi terakhir ketika RDG Juni dilangsungkan pada 18 Juni silam, rupiah telah membukukan penguatan sebesar 0,34%, terbaik kelima di Asia.
Penguatan rupiah mungkin terbantu arus modal asing yang kembali membesar di pasar obligasi pemerintah. Arus modal asing di pasar surat berharga negara mulai kembali deras setelah net sell pada Juni lalu.
Melansir data Bloomberg, dana global membukukan net buy senilai US$948,5 juta, sekitar Rp15,4 triliun selama Juli saja (month-to-date) hingga data tanggal 11 Juli lalu.
Di pasar saham, asing memang masih net sell di mana selama Juli sampai data perdagangan kemarin, 14 Juli, asing mencatat posisi jual bersih US$334,1 juta, sekitar Rp5,42 triliun.
Sedangkan di instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia, berdasarkan data terakhir BI, selama periode 7-10 Juli, investor asing mencatat posisi net sell di SRBI senilai Rp5,41 triliun.
Alhasil, selama tahun ini sampai data 10 Juli, asing membukukan posisi jual bersih SRBI sebesar Rp35,08 triliun. Posisi asing di SRBI, sesuai data BI terakhir sampai akhir Juni lalu tinggal Rp190,06 triliun, sudah berkurang Rp72,11 triliun dari posisi tertingginya pada Oktober tahun lalu.
Analisis teknikal
Secara teknikal nilai rupiah berpotensi melanjutkan tren pelemahan di zona merah, dibayangi sejumlah sentimen yang menekan, dengan target pelemahan menuju level Rp16.280/US$ yang merupakan support pertama dengan target pelemahan kedua akan tertahan di Rp16.300/US$.
Apabila kembali break kedua support tersebut, rupiah berpotensi melemah lanjutan dengan menuju level Rp16.350/US$ hingga Rp16.400/US$ sebagai support terkuatnya.
Jika nilai rupiah terjadi penguatan hari ini, resistance menarik dicermati ada pada level di range Rp16.200/US$ dan selanjutnya Rp16.150/US$ hingga Rp16.100/US$ potensial.

(rui)