Airlangga mengatakan, Indonesia dan AS juga melihat potensi besar untuk memperluas kerja sama di sektor strategis seperti mineral kritis.
“AS menunjukkan ketertarikan yang kuat untuk memperkuat kemitraan di bidang mineral kritis. Indonesia memiliki cadangan besar nikel, tembaga, dan kobalt, dan kita perlu mengoptimalkan potensi kerja sama pengolahan mineral kritis tersebut,” ujarnya.
"Indonesia akan melanjutkan negosiasi dengan AS dengan itikad baik, memastikan bahwa kerja sama yang terjalin mampu memberikan manfaat yang nyata bagi kedua negara."
Airlangga mengatakan, perundingan dengan AS selama ini mencakup isu-isu tarif, hambatan non-tarif, ekonomi digital, keamanan ekonomi, serta kerja sama komersial dan investasi.
Sebelumnya, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian berdalih penandatanganan sejumlah MoU terkait pembelian produk dan investasi di Amerika Serikat hanya merupakan 'sweetener' atau pemanis dalam proses negosiasi tarif perdagangan.
Juru Bicara Kemenko Perekonomian Haryo Limanseto menganggap kesepakatan -- yang jumlahnya sudah melebihi nilai defisit neraca perdagangan AS dengan Indonesia -- bisa menjadi pemanis untuk upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam negosiasi tarif perdagangan.
Hal ini disampaikan di tengah kondisi Indonesia yang gagal memperoleh potongan tarif dagang dari AS, hingga akhirnya dikenakan tarif impor 32%.
"Bisa menjadi pemanis buat upaya-upaya dilakukan oleh pemerintah. Sempat Pak Menko Perekonomian [Airlangga Hartarto] menyampaikan bahwa nilainya itu sudah melebihi dari defisit yang disampaikan pihak AS," ujar Haryo dalam media briefing, Rabu (9/7/2025).
Haryo mengatakan, awalnya, pemerintah memang mendorong pelaku usaha, baik swasta atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN), untuk segera menyelesaikan segala rencana transaksi perdagangan dan investasi dengan mitra di AS. Bahkan, terdapat kesepakatan secara informal agar kesepakatan itu bisa disampaikan ke publik selambat-lambatnya pada 7 Juli 2025. Namun, Haryo menggarisbawahi pemerintah pada dasarnya hanya mendorong pelaksanaannya karena MoU sudah masuk ke dalam ranah bisnis.
Pada 7 April 2025, terdapat beberapa MoU yang ditandatangani, yakni: MoU antara produsen gandum Indonesia dan US Wheat Associates; MoU Sorini Agro Asia Corporindo dan Cargill tentang pembelian jagung; Penyerahan surat dari Cotton Council International kepada Asosiasi Pertekstilan Indonesia; MoU FKS Group dan Zen-Noh Grain Corp tentang pembelian kedelai dan bungkil kedelai; MoU PT Kilang Pertamina Internasional dan ExxonMobil; MoU PT Kilang Pertamina Internasional dan KDT Global Resource; dan MoU antara PT Kilang Pertamina Internasional dan Chevron.
Namun, Haryo belum bisa mengonfirmasi apakah MoU yang sudah ditandatangani tersebut tetap memiliki nilai mencapai US$34 miliar.
"Ini sedang mendata tetapi ada beberapa pihak dari AS yang tidak berkenan disampaikan nilainya karena ini belum final untuk mereka, MoU belum final untuk angka-angkanya," ujarnya.
(lav)