Bloomberg Technoz, Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan agar rencana pengenaan tarif bea keluar (BK) terhadap batu bara bisa memperhitungkan harga dan permintaan atas komoditas tersebut di pasar global, serta biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh pelaku industri di dalam negeri.
Wakil Ketua Komisi XII DPR RI Sugeng Suparwoto mengatakan usulan BK tersebut tidak adil jika ditetapkan menggunakan angka atau persentase ekspor yang pasti.
“Harus lebih fleksibel ya [tarif bea keluar],” kata Sugeng ditemui di sela diskusi migas, dikutip Rabu (9/7/2025).
Sugeng menjelaskan fleksibelitas yang dimaksud yakni; saat batu bara mengalami windfall atau keuntungan tak terduga akibat lonjakan harga yang signifikan, bea keluarnya dapat ditetapkan lebih tinggi.
Sebaliknya, jika terjadi penurunan harga yang signifikan hingga menyentuh biaya produksi pada batu bara, bea keluar yang dikenakan bisa lebih rendah.
"Saat windfall profit naik, maka pajak ekspornya bisa naik. Akan tetapi, ketika dipatok dengan [persentase pajak] flat maka akan berat juga. Kita harus lebih fleksibel, saya sarankan dipatok semacam proporsi," jelas Sugeng.

Di sisi lain, Sugeng menyebut permintaan hingga harga batu bara saat ini tengah terpuruk, ditambah penambang batu bara saat ini juga menanggung kenaikan biaya operasional akibat program mandatori biodiesel B50.
“Kita akan terus tekankan dii saat fungsi fleksibiliti itu juga harus menenggang karena ada cost yang konstan sifatnya seperti B50 [sehingga] biaya operasional pertambangan naik,” tuturnya.
Sugeng menyebut keputusan mengenai tarif bea keluar terhadap batu bara memang dibahas oleh Komisi XI DPR dan Kementerian Keuangan. Akan tetapi, Komisi XII bisa mempertimbangkan ketika biaya produksi komoditas pertambangan terjadi peningkatan.
“Namun, bisa menjadi pertimbangan kalau production cost itu naik, maka alangkah tidak bijaknya kalau dikenakan bea keluar yang naik; apalagi kalau harga [batu bara] dunia sedang tidak baik-baik saja. Karena memang demand dunia tentang energi juga turun pertumbuhan ekonomi dunia juga turun,” ucapnya.

Sebelumnya, Panitia Kerja (Panja) Penerimaan—yang terdiri dari perwakilan Komisi XI DPR RI dan Kementerian Keuangan — membuka usulan untuk mengenakan tarif bea keluar terhadap produk batu bara dan emas pada 2026.
Usulan tersebut termaktub di dalam Laporan Panitia Kerja Penerimaan Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2024—20255 tertanggal 7 Juli 2025.
Di dalam bagian (d) poin ke-3 laporan tersebut dituliskan mengenai kebijakan untuk mendukung penerimaan negara yang optimal, salah satunya dengan “perluasan basis penerimaan bea keluar, di antaranya terhadap produk emas dan batu bara di mana pengaturan teknisnya mengacu pada peraturan Kementerian ESDM."
Komisi XI DPR menyatakan besaran tarif BK tersebut nantinya akan ditentukan oleh Kementerian ESDM sebelum diusulkan ke Kementerian Keuangan untuk ditetapkan ke dalam PMK. Hal ini karena ESDM lebih paham mengenai industri komoditas tersebut.
Akan tetapi, Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menilai batu bara belum waktunya dikenai tarif BK dalam waktu dekat, mengingat pasar komoditas tersebut sedang di bawah tekanan.
Menurutnya, saat ini harga batu bara masih dalam tren pelemahan, sehingga pengenaan BK akan makin berdampak pada tekanan kinerja ekspor komoditas pertambangan andalan Indonesia itu.
“Belum [dikenakan tarif],” kata Yuliot saat ditanya soal kemungkinan batu bara dikenakan BK tahun depan, sesuai usulan Panja Penerimaan, ditemui di sela diskusi migas pada Selasa (8/7/2025).
“Jadi [batu bara] ini enggak ada yang beli juga [kalau dikenakan BK]. Jadi kita melihat kompetitif dari komoditas,” ujarnya.
Yuliot menyebut hingga saat ini Kementerian ESDM belum menjalin komunikasi dengan Kemenkeu, termasuk Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu.
Batu bara selama ini hanya dikenai tarif penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No. 18/2025 tentang Perubahan atas PP No. 15/2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak di Bidang Usaha Pertambangan Batubara.
Di dalam PP tersebut, tarif PNBP batu bara diatur dengan mengacu pada harga batubara acuan (HBA) yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM.
Saat HBA berada di level kurang dari US$70/ton, batu bara akan dikenai tarif PNBP 15%. Ketika HBA berada di rentang US$70/ton hingga kurang dari US$120/ton, tarif PNBP batu bara dikenakan sebesar 18%.
Sementara itu, jika HBA berada di rentang US$120/ton hingga kurang dari US$140/ton, tarifnya menjadi 19%. Adapun, jika HBA berada di angka US$140/ton hingga kurang dari US$160/ton, tarifnya adalah sebesar 22%.
Tarif PNBP untuk batu bara akan menjadi 25% jika HBA menyentuh US$160/ton hingga kurang dari US$180/ton, sedangkan tarif 28% berlaku jika HBA menyentuh US$180/ton atau lebih.
(wdh)