Bloomberg Technoz, Jakarta – Kalangan penambang bauksit mengaku kecewa dengan kebijakan sektor pertambangan yang kerap berubah-ubah, termasuk yang terbaru dalam hal periode persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) tambang mineral dan batu bara (minerba).
Ketua Umum Asosiasi Bauksit Indonesia (ABI) Ronald Sulistyanto mengatakan aturan persetujuan RKAB 3 tahunan padahal belum 2 tahun berjalan, tetapi sekarang sudah hendak dikembalikan lagi menjadi 1 tahunan.
“[Ibaratnya] tanda tangan saja tintanya belum kering, sudah mau diubah lagi. Perjalanan waktu baru 1,5 tahun, sudah diubah. Artinya apa? Artinya, apakah di tingkat minerba itu tidak pernah dilakukan kajian-kajian yang lebih mendalam?” ujarnya saat dihubungi, Senin (7/7/2025).

Menurut Ronald, persetujuan RKAB menjadi 3 tahunan yang sudah berjalan saat ini sebenarnya lebih baik bagi iklim industri pertambangan, khususnya komoditas bauksit.
Penyebabnya, penambang memiliki ruang untuk berkonsentrasi dan menetapkan target yang jelas untuk jangka menengah. Apalagi, kata dia, perencanaan di industri pertambangan tidak bisa dilakukan sporadis seperti secara anual atau bulanan.
“Dia harus punya target produksi sampai dengan minimum 3 tahunan. Kenapa? Karena juga banyak kontraktor yang kerja di dalam pertambangan dan itu semua juga menggunakan fasilitas kredit bank,” terangnya.
Para penambang dan kontraktor jasa pertambangan bisa memiliki acuan rencana kerja yang bisa diandalkan ketika harus melakukan pinjaman ke perbankan. Akan tetapi, lanjutnya, jika perencanaan produksi dilakukan secara tahunan, situasinya akan menjadi lebih tidak pasti.
Para pelaku pertambangan bauksit padahal sebelumnya menilai perubahan RKAB menjadi 3 tahunan sebagai sebuah terobosan yang baik dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dia juga menyebut kebijakan tersebut didukung oleh para pemangku kepentingan di sektor pertambangan.
Ronald berpendapat rencana pengembalian RKAB menjadi 1 tahunan belum tentu cocok diterapkan terhadap semua segmen komoditas.
Isu kelebihan pasok yang terjadi di sektor batu bara, misalnya, belum tentu relevan di sektor bauksit sehingga solusi yang seharusnya ditempuh tidak selalu berupa penyamarataan periode RKAB.
“Kenapa bauksit dibawa-bawa? Kalau bauksit memang bisa 3 tahun, ya dibuat 3 tahun lah. Buat apa harus ikut-ikut? Ya memang menjadi masalah di dalam proses harga. Kalau bauksit itu kan sesuai dengan kebutuhan pasar,” ujarnya.
Berbeda dengan batu bara yang bisa langsung diekspor, jelas Ronald, bauksit mengandalkan harga dan permintaan dari industri offtaker seperti smelter lantaran komoditas tersebut sudah dilarang ekspor dalam bentuk mentah.
“Kalau [batu bara] mereka berlomba-lomba untuk memproduksi untuk diekspor. Kalau dibanjiri, di pasar dunia ya harganya turun. Kalau bauksit kan enggak ada ekspor. Bauksit jualan di dalam negeri, kapasitas smelter-nya terbatas. Bagaimana mau lebih? Lebih banyak yang enggak laku lah.”
Dari kalangan penambang nikel, niat pemerintah mengembalikan persetujuan RKAB menjadi tiap 1 tahun dari 3 tahunan juga diproyeksikan membuat harga nikel justru makin tertekan, alih-alih bangkit.
Presiden Direktur PT Elit Kharisma Utama Tonny Hadhiwalujo menjelaskan harga nikel tidak bisa serta-merta naik hanya karena kuota produksi bijihnya dibatasi dengan mengubah RKAB menjadi 1 tahunan.
Penyebabnya, harga jual bijih nikel ke pabrik pemurnian atau smelter telanjur anjlok akibat permintaan dan daya beli industri offtaker untuk bijih nikel juga sedang lesu.

Nikel dilego di harga US$15.290/ton di London Metal Exchange (LME) hari ini, melemah 1,04% dari penutupan Jumat. Harga nikel telah anjlok lebih dari 50% sejak periode short squeeze pada 2022.
Bagi sektor tambang, kata Tonny, bila produksi dan penjualan berkurang, dipastikan arus kas dan belanja modal capital expenditure (capex) penambang akan terdampak.
Belum lagi, pemerintah juga memberlakukan kebijakan Harga Patokan Mineral (HPM) yang diklaimnya turun menekan profitabilitas perusahaan tambang nikel.
“Jadi memang perlu ada usaha pengendalian harga. Namun, bukan di RKAB, melainkan di jumlah produksi smelter-nya. Seperti yang saat ini sedang terjadi, banyak line produksi smelter berhenti dan melakukan maintenance,” kata Tonny.
Tonny menjelaskan masa berlaku RKAB menjadi 1 tahun, akan makin mempersulit penambang nikel untuk mencapai kuota yang direncanakan karena biasanya persetujuan rencana produksi baru diperoleh pada Februari atau Maret tahun berjalan, bahkan bisa lebih lambat.
Walhasil, perusahaan tambang tidak bisa mulai produksi dari awal tahun.
Selain itu, penambang juga menjadi lebih repot karena satu tahun merupakan waktu yang pendek untuk membuat perencanaan bagi RKAB.
Dia sepakat bahwa usulan mengubah RKAB menjadi 1 tahunan lebih relevan untuk komoditas batu bara, tetapi tidak untuk bijih nikel.
Hal ini karena, berbeda dengan bijih nikel yang harus diolah dahulu di dalam negeri, batu bara bisa langsung diekspor sehingga pengendalian suplai dan permintaannya melalui RKAB akan lebih efektif.
“Sedangkan bijih nikel adalah bahan baku smelter bukan produk akhir, sehingga pengendalian harganya ada di jumlah produksi smelter,” jelasnya.
Dia pun menolak usulan RKAB dikembalikan menjadi 1 tahunan karena dinilai tidak cocok diberlakukan sama rata untuk seluruh komoditas mineral termasuk nikel. “Usulan saya, bila RKAB mau diberlakukan 1 tahun, untuk batu bara saja,” imbuhnya.
Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyetujui usulan Komisi XII DPR RI untuk mengembalikan mekanisme persetujuan RKAB dari 3 tahunan menjadi 1 tahunan.
Hal itu mempertimbangkan alasan ketidaksesuaian jumlah produksi minerba dengan kebutuhan atau permintaan di pasar.
"Jadi menyangkut RKAB, memang kalau kita membuat 1 tahun nanti dikirain kita ada main-main lagi. Namun, karena ini sudah menjadi keputusan politik, makanya kita lakukan," kata Bahlil dalam rapat bersama Komisi XII, Rabu (2/7/2025).
Aturan persetujuan RKAB menjadi 3 tahunan dari sebelumnya 1 tahunan baru berjalan selama dua tahun terakhir atau sejak diterbitkannya Permen ESDM No. 10/2023 tentang Tata Cara Penyusunan, Penyampaian, dan Persetujuan Rencana kerja dan Anggaran Biaya Serta Tata Cara Pelaporan Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)