Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta – Pemerintah akhirnya mengamini bahwa gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) termasuk ke dalam daftar komoditas energi yang berpotensi diimpor dari Amerika Serikat (AS), sebagai bagian dari penawaran Indonesia dalam negosiasi tarif resiprokal.

Kabar tersebut, padahal, sebelumnya berkali-kali dibantah oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Minera (ESDM); yang menegaskan kebutuhan impor migas dari AS hanya mencakup minyak mentah (crude) dan gas minyak cair atau liquefied petroleum gas (LPG).

Menurut pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto kepada Bloomberg pada Jumat (4/7/2025), Indonesia berkomitmen untuk menurunkan tarif mendekati nol persen terhadap lebih dari 1.700 komoditas atau setara dengan hampir 70% barang yang diimpor dari AS.

Dalam pernyataan itu, disebutkan juga bahwa Indonesia bersedia meningkatkan impor gas dan produk pertanian dari AS. Adapun, nilai komoditas energi yang akan diimpor Indonesia diperkirakan sekitar US$15,5 miliar dari total proposal perdagangan senilai US$34 miliar yang diajukan pemerintah ke Washington.

Train Tangguh 3, Teluk Bintuni, Papua Barat. (Dok. Kementerian ESDM)

Hal tersebut dikonfirmasi juga oleh Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung. “LNG termasuk yang akan diimpor dari AS,” tegasnya, saat ditemui di kantor Kementerian ESDM, Jumat (4/7/2025).

Bagaimanapun, Yuliot mengatakan volume impor LNG dari Negeri Paman Sam masih dikalkulasikan oleh pemerintah. “Ya, volume belum.”

Polemik mengenai wacana impor LNG juga menyeruak akhir-akhir ini setelah Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan pemerintah membuka opsi untuk pengadaan gas luar negeri karena harga domestik makin mahal dan membebani industri.

Akan tetapi, sebenarnya, seberapa urgen Indonesia mengimpor LNG dari Negeri Paman Sam?

Harga LNG AS

Direktur Utama PT Petrogas Jatim Utama Cendana (PJUC) Hadi Ismoyo mengatakan opsi paling memungkinkan yang bisa ditempuh Indonesia dalam mencari tambahan sumber LNG memang berasal dari AS. 

Sayangnya, harga impor gas dari AS bisa lebih dari US$15/million british thermal unit (MMBtu). Dia memerinci harga gas mulut sumur (wellhead) di AS paling murah adalah sekitar US$3,5/MMBtu.

Harga LNG AS./dok. EIA

Sementara itu, biaya likuifaksi atau pencairan sebesar US$5/MMBtu dan biaya pengiriman US$1/MMBtu karena jaraknya yang jauh, sedangkan biaya pengisian dan penyimpanan US$2/MMBtu.

Kemudian, toll fee ke konsumen sekitar US$1/MMBtu untuk pipa, dan US$2/MMBtu biaya virtual pipeline berbasis CNG dan LNG.

Dengan demikian, harga total impor LNG dari AS sebesar US$12,/MMBtu sampai US$13,5/MMBtu. “Perhitungan saya, harga sampai di Indonesia bisa sampai US$15/MMBtu,” tutur Hadi saat dihubungi.

Beban Logistik

Harga gas impor yang dibeberkan Hadi tersebut, belum termasuk faktor perang seperti yang terjadi saat ini antara Iran dan Israel, yang akan menaikkan biaya logistik sebesar 20% sampai 30% karena isu keamanan dan asuransi jika ada rudal nyasar.

Arus LNG melalui Selat Hormuz./dok. Bloomberg

“Jadi saya belum menemukan perhitungan LNG Impor lebih murah dari LNG domestik,” katanya.

Untuk itu, dia menyarankan agar Indonesia dapat memanfaatkan sumber LNG dari dalam negeri seperti dari lapangan gas Tangguh III di Teluk Bintuni, Papua Barat; Blok Kasuri, Papua Barat; Blok Masela; Geng North Bontang; dan IDD Bontang.

“Saya belum menemukan perhitungan harga gas LNG Impor lebih murah. Kira-kira dari mana ya? Rusia kah? Tetap saja harus dihitung logistiknya. Kalaupun murah dari Rusia mungkin harga gas wellhead. Namun, itu pun hanya beda satu atau setengah dolar saja,” tuturnya.

Di sisi lain, Hadi mensinyalir industri domestik bakal keberatan untuk membayar dengan harga LNG impor karena saat ini aspirasi industri untuk LNG adalah sekitar US$6/MMBtu—US$7/MMBtu.

“Menurut saya maksimalkan dahulu source LNG domestik sebelum memberikan izin impor LNG,” kata Hadi.

Pada saat Indonesia tengah mengkaji impor gas untuk industri, para pedagang atau trader LNG dalam beberapa waktu terakhir sudah 'pasang mata' dan bersiap menjual lebih banyak bahan bakar superdingin tersebut ke eksportir tradisional di Asia Tenggara yang terpaksa beralih ke impor untuk memenuhi kebutuhan energi yang melonjak. Salah satunya Indonesia.

"Negara-negara termasuk Malaysia dan Indonesia memiliki rencana untuk meningkatkan kapasitas impor LNG, yang dapat menciptakan perubahan dalam dinamika pasar," kata Takuya Tanabe, kepala asal LNG Asia di JERA Global Markets, di KTT Asia Power and Gas BloombergNEF,  belum lama ini.

Para traders ingin memanfaatkan pertumbuhan domestik yang kuat di dua negara berkembang tersebut, di mana cadangan gas domestik yang menipis telah memaksa pemerintah untuk memikirkan kembali strategi ekspor.

Grafik ekspor LNG AS. (Sumber: Bloomberg)

Sempat Dibantah

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pada kesempatan sebelumnya pernah menegaskan pihaknya tidak punya pembicaraan mengenai rencana impor LNG dari AS.

Indonesia, tegas Bahlil, saat ini masih memungkinkan untuk mencukupi kebutuhan LNG dari dalam negeri menggunakan pasokan domestik.

Hal ini merespons pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang mengatakan akan mengimpor sejumlah komoditas strategis, termasuk LNG, dari Negeri Paman Sam sebagai salah satu langkah negosiasi untuk meredam tarif resiprokal yang diberikan kepada Indonesia.

“Kemarin, dari pembicaraan saya dengan bapak Presiden [Prabowo Subianto] enggak ada impor LNG. Jadi saya tidak tahu. Saya tidak mengomentari sesama menteri. Saya menjelaskan tentang apa yang saya lakukan,” kata Bahlil ditemui di Kementerian ESDM, akhir April.

Bahlil membenarkan pemerintah memang tengah menyusun cara untuk mengurangi defisit neraca perdagangan dengan AS.

Dari sektor energi, dalam kaitan itu, Bahlil menegaskan Indonesia berencana mengimpor beberapa komoditas seperti LPG, dan minyak mentah. Tidak ada rencana untuk membeli LNG. 

Awal pekan lalu, Ketua Satgas Percepatan Peningkatan Produksi/Lifting Migas Nanang Abdul Manaf juga menyebut pemerintah tidak memiliki rencana untuk mengimpor LNG, tetapi akan memaksimalkan produksi dalam negeri.

“Kita lagi tidak mikirin impor. Kita bagaimana caranya memenuhi [produksi] dalam negeri. Itu saja fokus. Kita lagi mengoptimalkan semuanya dipenuhi dari dalam negeri,” kata Ketua Satgas Percepatan Peningkatan Produksi/Lifting Migas Nanang Abdul Manaf saat ditemui di Kementerian ESDM, Selasa (1/7/2025).

Pangsa pasar LNG Indonesia./dok. BMI

Nanang, yang juga Tenaga Ahli Menteri ESDM Bidang Eksplorasi dan Bidang Peningkatan Produksi Migas, mengatakan impor LNG dilakukan dalam keadaan mendesak atau darurat.

Dia menyebut cadangan gas yang ada di Tanah Air saat ini sudah cukup banyak. Hanya saja, pemerintah perlu menata agar lebih baik.

Ketika ditanya kemungkinan impor LNG dari mana, Nanang menuturkan dapat mengimpor dari pasar spot yang paling mudah. Akan tetapi, harganya mahal. Selain itu, impor LNG juga bisa berasal dari Qatar dan AS.

“[Negara] yang sekarang yang produksinya besar di Qatar, AS,” ujarnya.

Kekayaan Gas 

Terlepas dari wacana impor, Indonesia sebenarnya digadang-gadang bakal menjadi salah satu produsen LNG terbesar di kawasan. Produksi di dalam negeri pun disebut bakal sangat mencukupi.

Menurut laporan BMI—lengan riset Fitch Solutions, bagian dari Fitch Group — Indonesia siap menjadi raksasa produsen LNG di Asia Tenggara, seiring dengan adannya potensi tambahan 40 miliar meter kubik atau billion cubic meter (bcm) sumber daya hingga 2030.

BMI menyebut Indonesia kaya dengan proyek gas greenfield yang akan mengerek pasokan gas baku untuk produksi LNG sepanjang 2024—2030.

“Kami memperkirakan sekitar 40 bcm gas alam tambahan akan diproduksi dari proyek-proyek mendatang ini, yang sebagian besar ditujukan untuk memasok gas baku ke pabrik-pabrik LNG yang baru dan yang sudah ada,” papar tim peneliti BMI dalam laporan Desember tahun lalu.

Proyeksi produksi tahunan LNG Indonesia./dok. BMI

Proyek gas enhanced gas recovery (EGR) Ubadari adalah yang paling signifikan di antara proyek-proyek greenfield ini dan diestimasikan mendukung produksi LNG dari proyek Tangguh.

Proyek Ubadari dirancang untuk membuka sekitar 3 triliun kaki kubik atau trillion cubic feet (tcf) sumber daya gas tambahan, dengan potensi produksi 28 bcm gas alam dari Lapangan Ubadari. Gas pertama dari lapangan Ubadari diharapkan onstream pada 2028.

Tidak hanya itu, proyek EGR lainnya di Lapangan Vorwata diperkirakan dapat menghasilkan tambahan 8,5 bcm. Pasokan gas tambahan dari dua proyek EGR ini dapat memperpanjang umur proyek LNG Tangguh.

Proyek Strategis Nasional (PSN) Perairan Dalam Indonesia atau Indonesia Deep Water (IDD) juga digadang-gadang membantu meningkatkan produksi LNG dari kilang eksisting di Bontang.

Produksi LNG Indonesia telah pulih, menurut BMI, berkat meningkatnya pasokan gas baku dari ladang-ladang IDD yang dioperasikan oleh investor asing.

Secara khusus, produksi LNG dari kilang LNG Bontang telah terus meningkat sejak ladang gas Merakes milik Eni Spa mulai berproduksi pada 2021.

Sebagian gas yang diproduksi dari ladang Merakes, yang menghasilkan sekitar 750 juta kaki kubik standar per hari atau million standard cubic feet per day (mmscfd) atau setara 4,6 bcm, dipasok ke kilang LNG Bontang.

Gas baku tambahan untuk kilang LNG Bontang berasal dari ladang gas Jangkrik, yang juga dioperasikan oleh Eni.

Berdasarkan data dari Satuan Tugas Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), produksi LNG dari kilang Bontang telah pulih sejak lapangan Merakes mulai berproduksi pada 2021, dengan total volume produksi meningkat dari 2,9 juta ton per tahun atau million tonnes per annum (mtpa) pada 2020 menjadi 4,1 mtpa pada 2023.

Tambahan pasokan gas untuk kilang Bontang akan berasal dari proyek gas Gendalo dan Gandang yang dioperasikan Eni, yang bertujuan untuk memproduksi gas sebanyak 8,7 bcm.

Capex untuk proyek LNG di Asean./dok. BMI


SKK Migas juga telah menyetujui rencana pengembangan atau plan of development (PoD), dan proyek tersebut diharapkan mulai beroperasi pada 2027.

“Kami memperkirakan adanya risiko kenaikan yang signifikan terhadap produksi LNG dari kilang Bontang ketika proyek gas terintegrasi Gehem-Geng Utara mulai beroperasi pada 2028,” kata BMI.

Adapun, proyek Gehem-Geng Utara diharapkan dapat menghasilkan gas sebanyak 18 bcm, yang akan dipasok ke kilang LNG Bontang dan Unit Produksi Terapung (FPU) Jangkrik.

Pada perkembangan lain, penemuan gas baru-baru ini di Laut Andaman Selatan juga diyakini dapat menghidupkan kembali produksi LNG dari kilang Arun yang tidak beroperasi.

SKK Migas optimistis tentang potensi Mubadala Energy untuk mempercepat pengembangan gas di Blok Andaman Selatan.

Untuk diketahui, Mubadala telah menemukan cadangan gas yang signifikan, termasuk 6 tcf di Layaran-1 dan 2 tcf di Tangkulo-1. SKK Migas menargetkan persetujuan PoD pada akhir tahun, meskipun kompleksitas cadangan air dalam dan kurangnya infrastruktur.

Gas Andaman Selatan dapat memanfaatkan kilang LNG Arun di dekatnya di Aceh, meskipun kesesuaiannya untuk diaktifkan kembali tidak pasti. Mubadala sedang mengembangkan skenario PoD, yang menargetkan penyelesaian pada akhir 2024, sementara SKK Migas mengeksplorasi opsi untuk merevitalisasi Kilang Arun.

Pemerintah berencana membangun kilang LNG baru di Aceh untuk menggantikan fasilitas yang sudah tua, karena kilang Arun, yang secara historis penting tetapi sekarang kurang dimanfaatkan, tidak dapat menampung potensi gas Aceh.

Sementara itu, total kapasitas produksi LNG Indonesia juga dapat meningkat menjadi 48,9 mtpa pada awal 2030-an jika proyek Abadi LNG atau Blok Masela terealisasi.

Indonesia saat ini memiliki kapasitas produksi LNG gabungan sebesar 36,2 mtpa, termasuk Bontang, Donggi Senoro, Tangguh, dan pabrik modular kecil.

Adapun, proyek Sengkang LNG 2,0 mtpa masih dalam tahap konstruksi, dengan penyelesaian berpotensi tertunda hingga 2025. 

Genting Berhad saat ini sedang membangun pabrik LNG terapung 1,2 mtpa pertama di Indonesia di Teluk Bintuni, Papua Barat. Gas umpan untuk produksi LNG akan dipasok dari ladang gas Asap, Kido, dan Merah.

Genting Berhad juga telah sepakat dengan pemerintah Indonesia untuk memasok 230 mmscfd gas umpan untuk produksi LNG selama 18 tahun, dan tambahan 101 mmscfd untuk pabrik amonia dan urea yang direncanakan di Papua Barat. Proyek LNG ini diharapkan mulai beroperasi pada 2028.

“Kami memperkirakan total kapasitas produksi LNG Indonesia akan meningkat menjadi 39,4 mtpa pada 2028 jika kedua proyek tersebut mulai beroperasi sesuai jadwal. Pemerintah Indonesia telah menyetujui PoD untuk proyek LNG Abadi sebesar 9,5 mtpa,” tulis BMI.

-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi

(wdh)

No more pages