Dengan kapasitas produksi 15 GW, dia mengeklaim proyek tersebut digadang-gadang dapat menghemat impor bahan bakar minyak (BBM) Indonesia hingga 300.000 kiloliter (kl) per tahun.
“Ini kita targetkan di sini, minal dengan pasar yang sudah naik, untuk baterai PLTS bisa sampai dengan 40 GW,” sambung Bahlil.
Bahlil mengatakan investasi Proyek Dragon mencapai nyaris US$6 miliar (sekira Rp97,07 triliun asumsi kurs saat ini), dengan perincian US$1,2 miliar dialokasikan untuk pabrik sel baterai di Karawang.
Sementara itu, US$4,7 miliar dialokasikan untuk proyek hulu di tambang nikel, smelter RKEF dan HPAL, hingga pabrik prekursor dan katoda di Halmahera Timur, Maluku Utara.
Proyek tersebut juga diklaimnya menggunakan pasokan energi listrik dari PLTS berkapasitas 150 megawatt (MW) dan dari pengolahan limbah sebesar 30 MW. “Jadi betul-betul kita dorong untuk mengarah ke ramah lingkungan,” ujarnya.
Tidak hanya itu, Bahlil mengeklaim Proyek Dragon akan memiliki efek pengali atau multiplier effect hingga mencapai US$45 miliar (sekira Rp728,09 triliun asumsi kurs saat ini) per tahun terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Dan setiap tahun, ketika harganya naik, [efek pengali] itu naik lagi,” ujarnya.
Terkait dengan itu, Bahlil meminta investor asal China di Proyek Dragon juga menggandeng pengusaha daerah untuk bidang-bidang pekerjaan seperti kontraktor, logistik, pengadaan barang, dan BBM.
Dengan demikian, manfaat ekonomi dari megaproyek ekosistem baterai tersebut tidak hanya dirasakan oleh pemerintah pusat dan investor, tetapi juga pengusaha daerah, masyarakat, dan pemerintah daerah.

Pada kesempatan yang sama, Presiden Prabowo Subianto mengatakan pembangunan ekosistem baterai terintegrasi ersebut diharapkan menjadi salah satu langkah dalam mencapai swasembada energi.
Dalam kaitan itu, dia menargetkan Indonesia dapat mencapai swasembada energi dalam 5—7 tahun mendatang.
“Dan salah nanti jalan kita menuju swasembada energi adalah listrik, listrik dari tenaga surya, dan listrik dari tenaga surya kuncinya baterai. Dan hari ini kita saksikan, tadi laporannya menghasilkan 15 GW,” kata Prabowo.
Investasi raksasa baterai China pada Proyek Dragon dilakukan lewat Ningbo Contemporary Brunp Lygend Co Ltd (CBL), usaha patungan bersama dengan Brunp dan Lygend. Dua perusahaan yang disebut terakhir punya keahlian pada pembuatan bahan baku baterai setrum.
Sementara itu, IBC menjadi perwakilan dari sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) yang mengambil bagian pada rencana investasi konsorsium CBL tersebut.
Saham IBC dipegang oleh PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) atau Antam dengan porsi 26,7%, PT Indonesia Asahan Aluminium atau Inalum sebesar 26,7%, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN dengan porsi 19,9%, serta PT Pertamina New & Renewable Energy dengan bagian 26,7%.
Proyek ini dijalankan melalui serangkaian pembentukan usaha patungan atau joint venture (JV) yang mencakup tiga tahap industri yaitu hulu (tambang), antara (smelter katoda, anoda, dan prekursor), dan hilir (produksi dan daur ulang baterai).
Di sisi hulu, IBC dan CBL membentuk tiga usaha patungan, salah satunya adalah PT Sumber Daya Arindo (SDA) yang mengelola tambang nikel. Antam memegang 51% saham di SDA, sementara sisanya dimiliki oleh afiliasi CBL, yakni Hongkong CBL Limited (HKCBL).
Selain SDA, struktur JV juga mencakup PT Feni Haltim (PFT) yang akan mengembangkan fasilitas pirometalurgi berbasis rotary kiln electric furnace (RKEF) serta kawasan industri di Halmahera Timur.
Dalam entitas ini, Antam memegang 40% saham. Sementara itu, untuk fasilitas hidrometalurgi atau high pressure acid leach (HPAL), Antam memiliki 30% porsi kepemilikan.
Di sektor menengah hingga hilir, IBC berperan dalam pengolahan bahan baku baterai, perakitan sel, hingga pengelolaan daur ulang. IBC memiliki 30% saham di proyek pengolahan dan produksi baterai, serta 40% saham dalam proyek daur ulang baterai.
Skema ini menunjukkan kecenderungan kepemilikan minoritas dari pihak Indonesia di sisi manufaktur.
(wdh)