Larangan ekspor diperpanjang “karena tingginya tingkat stok di pasar yang masih berlangsung,” kata Otoritas Regulasi dan Pengawasan Pasar Bahan Mineral Strategis (ARECOMS) dalam pernyataan yang dibagikan kepada Bloomberg.
Dokumen tersebut bertanggal Sabtu dan ditandatangani oleh Ketua ARECOMS, Patrick Luabeya.
Larangan awal diberlakukan tidak lama setelah harga patokan kobalt turun di bawah US$10 per pon — level terendah dalam 21 tahun terakhir, kecuali penurunan singkat pada akhir 2015, menurut data Fastmarkets.
Sejak itu, harga kobalt telah naik hampir 60%, sementara harga kobalt hidroksida—produk utama ekspor Kongo—telah melonjak 2 kali lipat.
Pemerintah Kongo juga tengah mempertimbangkan opsi jangka panjang untuk industri kobalt domestik, termasuk penerapan kuota ekspor untuk mendukung harga dan mendorong pengolahan di dalam negeri.
ARECOMS menyebutkan akan mengumumkan keputusan lanjutan sebelum larangan sementara ini berakhir, yang dapat berupa perubahan, perpanjangan, atau penghentian kebijakan.
Pemerintahan Presiden Félix Tshisekedi berupaya meningkatkan pengaruh atas harga kobalt global dengan menyelaraskan pasokan dengan permintaan dunia.
Namun, sejumlah analis memperingatkan bahwa pembatasan yang terlalu ketat dan lonjakan harga justru dapat mendorong produsen beralih ke baterai kendaraan listrik tanpa kandungan kobalt. CMOC juga menyampaikan kekhawatiran serupa kepada pemerintah.
Produsen kobalt terbesar setelah CMOC adalah raksasa komoditas Glencore Plc dan Eurasian Resources Group Sarl yang didukung Kazakhstan—keduanya memiliki aset besar di Kongo.
Negara ini juga merupakan produsen tembaga terbesar kedua di dunia, yang ditambang bersamaan dengan kobalt. Ekspor tembaga tidak terdampak oleh kebijakan larangan tersebut.
(bbn)































