Indonesia adalah rumah bagi industri pengolahan nikel terbesar di dunia, dengan investasi yang dipimpin China dan fokus pada inovasi efisiensi biaya yang menyebabkan lonjakan produksi dalam beberapa tahun terakhir.
Meningkatnya pasokan logam nikel — komoditas penting untuk baterai mobil listrik — telah memicu penurunan harga nikel, dengan harga acuan di London Metal Exchange (LME) mencapai titik terendah sejak 2020 awal tahun ini.
Kemerosotan tersebut telah meningkatkan persaingan di antara para produsen, sehingga menimbulkan tantangan bagi industri pengolahan nikel, serta bagi pemerintah daerah, yang telah mempromosikan hilirisasi mineral sebagai cara untuk meningkatkan ekonomi di negara terbesar Asia Tenggara itu.
Karena rendahnya emisi dan biaya, smelter-smelter HPAL telah menikmati preferensi kebijakan, meskipun pemerintah pusat mengatakan pekan ini bahwa mereka berencana untuk menghukum para produsen di kawasan industri Morowali karena dugaan pelanggaran lingkungan.
"Kita mungkin melihat suatu titik akhir tahun ini atau awal tahun depan ketika pabrik-pabrik HPAL mengalami margin yang sangat tipis," kata Luigi Fan, seorang analis di SMM Information & Technology Co.
Namun, Fan mengingatkan bakal ada lebih banyak produsen HPAL yang kemungkinan besar akan beroperasi, karena harga kobalt —produk sampingan nikel — yang kuat.
Perusahaan smelter HPAL yang ada termasuk PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL), yang dikenal sebagai Harita Nickel, dan Lygend Resources & Technology Co. dari China di Pulau Obi.
Proyek-proyek yang akan segera dimulai termasuk Nickel Industries Ltd., yang didukung oleh raksasa China Tsingshan Holding Group Co., dan sebuah usaha patungan dari PT Harum Energy Tbk (HRUM) di Teluk Weda.
Tidak ada satu pun perusahaan yang dimintai komentar untuk berita ini yang memilih untuk membalas.
Perluasan operasi smelter HPAL mendorong Indonesia menjadi importir utama sulfur global, yang secara tradisional digunakan untuk membuat pupuk.
Negara-negara Timur Tengah dan Kanada termasuk di antara produsen utama sulfur, dengan perusahaan minyak global seperti Saudi Arabian Oil Co., atau Aramco, yang memulihkan sulfur dari gas alam dan pemrosesan minyak.
Diperlukan sekitar 12 ton sulfur untuk membuat 1 ton endapan hidroksida campuran, atau mixed hydroxide precipitate (MHP), suatu bentuk nikel yang ditujukan untuk produsen baterai kendaraan listrik.
Mengingat lonjakan biaya sulfur, pabrik-pabrik HPAL perlu membayar lebih dari US$2.500 lebih banyak dari tahun lalu untuk setiap ton MHP, menekan margin dalam industri yang masih berkembang, kata Fan. Saat ini, biaya rata-rata untuk memproduksi 1 ton MHP sekitar US$11.000.
Produksi MHP diperkirakan terus meningkat di Indonesia. Output nikel MHP diestimasikan melonjak menjadi 619.000 ton pada2026, naik lebih dari sepertiga dari tahun ini, menurut Angela Durrant, analis utama logam dasar di CRU Group.
“Meskipun tekanan biaya ini berasal dari kenaikan harga sulfur sejak pertengahan 2024, aset HPAL Indonesia akan tetap berada di kuartil pertama kurva biaya,” kata Durrant, mengacu pada ukuran seberapa murah pabrik dapat berproduksi.
“Kami tidak memperkirakan harga sulfur yang lebih tinggi akan memperlambat laju penambahan kapasitas.”
(bbn)
































