Baru-baru ini, Greenpeace Indonesia melaporkan eksploitasi nikel di Indonesia Timur telah merusak ekosistem dan lingkungan di destinasi pariwisata Raja Ampat.
Imbas polemik tersebut, Bahlil resmi membekukan sementara kontrak karya (KK) PT Gag Nikel, yang merupakan anak usaha PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) atau Antam di kawasan Raja Ampat, Papua Barat.
Lebih lanjut, Bahlil mengatakan KK produksi PT Gag Nikel berlaku sejak 2017 dan operasi perusahaan tersebut sudah berjalan sejak 2018. Perusahaan juga disebutnya telah memenuhi persyaratan analisis dampak lingkungan (Amdal).
Menurut Bahlil, berdasarkan laporan dari Ditjen Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, terdapat lima KK yang aktif di kawasan Raja Ampat, tetapi yang sudah beroperasi adalah milik anak usaha BUMN tambang, Antam.
“Agar tidak terjadi kesimpangsiuran, maka kami sudah memutuskan lewat Dirjen Minerba, untuk status daripada IUP [KK, red.] PT Gag itu kami untuk sementara kita hentikan operasinya sampai dengan verifikasi lapangan, kita akan cek,” ucapnya.
Pembekuan KK produksi tersebut berlaku sejak hari ini hingga peninjauan tim di lokasi penambangan.
Di sisi lain, sejumlah media malah menampilkan Pulau Pianemo dalam narasi pemberitaan. Padahal, kata Bahlil, jarak Pulau Gag ke Pulau Pianemo kurang lebih sekitar 30—40 kilometer.
“Saya sering di Raja Ampat, dan di wilayah Raja Ampat itu betul wilayah pariwisata yang kita harus dilindungi. Akan tetapi, luas wilayah pulau-pulau Raja Ampat itu sampai ada pendekatan sampai dengan Maluku Utara,” tambahnya.
“Jadi, wilayah Kabupaten Raja Ampat itu banyak kota konservasi, banyak pulau-pulau yang untuk pariwisata, tetapi juga ada pulau-pulau yang memang ada pertambangan.”
Bahlil sebelumnya telah menegaskan pemerintah tidak akan tunduk pada desakan asing untuk menjegal upaya hilirisasi di Indonesia, khususnya bagi komoditas nikel.
Bahlil memproyeksikan potensi investasi dari hilirisasi nikel pada 2030 mencapai US$47,36 miliar dengan serapan tenaga kerja diprediksi menembus 180.600 orang.
Adapun, kontribusi hilirisasi nikel terhadap produk domestik bruto (PDB) per tahun ditaksir mencapai US$15,82 miliar per tahun pada 2030, dengan peningkatan ekspor senilai US$34,10 miliar.
Akan tetapi, Bahlil mengakui sampai saat ini banyak negara di dunia yang berupaya untuk menghambat upaya hilirisasi nikel melalui berbagai kampanye hitam seperti doktrin bahwa Indonesia memproduksi ‘dirty nickel’ atau nikel kotor.
“Sejengkal pun saya tidak akan mundur dari tekanan-tekanan asing untuk melanjutkan apa yang menjadi program hilirisasi,” ujarnya di sela agenda Human Capital Summit 2025, Selasa (3/6/2025).
Bahlil mengatakan saat ini Indonesia mendominasi 43% total cadangan nikel di dunia. Sejak larangan ekspor bijih diberlakukan pada 2020, lanjutnya, nilai ekspor nikel Indonesia naik dari US$3,3 miliar pada 2017—2018 menjadi US$34 miliar pada 2023.
“Dan hari ini kita salah satu negara terbesar eksportir turunan hilirisasi nikel. Banyak yang protes, katanya nikel Indonesia kotor. Mana ada nikel yang seperti tidur di kasur empuk? Nikel pasti ada tanahnya lah. Macam-macam [isu] dibuat karena kita sudah mulai menuju satu roadmap [hilirisasi] yang jelas,” ujarnya.
Bahlil tidak menampik masih banyak kekurangan dalam program hilirisasi nikel di Indonesia. Namun, lanjutnya, pemerintah berkomitmen untuk terus melakukan pembenahan agar serapan tenaga kerja dan aspek keberlanjutan dapat makin dioptimalkan di industri ini.
Saat ini, dia mengatakan fokus pemerintah adalah melanjutkan hilirisasi nikel ke arah ekosistem baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV).
(mfd/wdh)



























