Meidy mencontohkan PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNI) termasuk jajaran perusahaan yang juga mengambil kebijakan serupa.
“Virtue Dragon itu juga mengurangi, termasuk Huadi itu juga mengurangi. Jadi kapasitas output produksi mungkin tahun ini berkurang ya, kalau khusus NPI saja,” kata Meidy.
Sekadar catatan, VDNI yang beroperasi di Kawasan Industri Konawe, Sulawesi Tenggara merupakan salah satu lini usaha Jiangsu Delong Nickel Industry Co — raksasa baja China sekaligus investor besar hilirisasi nikel Indonesia asal Negeri Panda selain Tsingshan.
Selain VDNI, Jiangsu Delong juga merupakan investor di balik PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) di Morowali dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS) di Konawe.
Adapun, HNI yang di Kawasan Industri Bantaeng, Sulawesi Selatan juga disokong oleh investor China, Shanghai Huadi Industrial Co Ltd, bersama mitranya di Indonesia, PT Duta Nikel Sulawesi.
Lebih lanjut, Meidy berpendapat keputusan menyetop sementara sebagian lini produksi merupakan hal yang realistis untuk ditempuh pelaku industri hilir nikel saat ini.
“Pertama, karena kan cost [biaya] saat ini meningkat. Sejak royalti naik, harga bijih nikel juga jadi dobel,” ujarnya.
Tekanan Harga
Sebelumnya, Nickel and New Energy Research Director Tsingshan, Lynn, mengonfirmasi kabar penghentian sementara sejumlah lini produksi baja nirkaratnya di Indonesia, yang diduga dilakukan seiring dengan berlanjutnya tekanan harga nikel pada tahun ini.
“Ya, kami telah menghentikan jalur produksi cold rolling,” ujarnya saat dihubungi Bloomberg Technoz.
Secara umum, lanjutnya, Lynn mengindikasikan produksi dari smelter nikel pirometalurgi di Indonesia masih aman untuk tahun ini.
Untuk NPI, misalnya, Tsingshan memproyeksikan output atau produksi dari Indonesia mencapai 1,74 juta ton pada 2025.

Terpisah, Global Sales Head Eternal Tsingshan Group Ltd Steven Chen mengutarakan margin industri smelter nikel—tidak hanya di Indonesia, tetapi di tingkat global — tengah tertekan, bahkan ada yang mencapai nol dan nyaris nol.
Industri smelter, terangnya, tengah tertekan oleh situasi ketidakpastian global akibat sentimen perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dan China. Belum lagi, harga nikel terus terpangkas dan menjauhi rekor seperti periode short squeeze pada 2022.
“Kami juga mendengar soal pemangkasan produksi baja nirkarat di Indonesia. Di Morowali juga terjadi pemangkasan kecil. Ini adalah fenomena lazim hari-hari ini, baik di China maupun di Indonesia,” terangnya di sela agenda Critical Minerals Conference & Expo, Rabu (4/6/2025).
Chen menggambarkan harga baja nirkarat di Negeri Panda juga kian rontok. Untuk itu, Tsingshan saat ini lebih fokus untuk mengirimkan produksinya di Indonesia ke pasar-pasar luar negeri lainnya, ketimbang reekspor ke negara asal perusahaan itu, yaitu China.
“Saya pikir pada kuartal I-2025, ekspor ke China mencakup 29% dari total produksi baja nirkarat Indonesia. Ini adalah realisasi terendah dalam, mungkin, bertahun-tahun terakhir,” tuturnya.
Melihat kondisi harga nikel dan baja nirkarat yang bergerak makin melemah, Chen menyebut tidak menutup kemungkinan Tsingshan juga akan merevisi rencana produksi NPI mereka.
“Tentu saja. Seperti saya katakan, margin [industri smelter saat ini] terus menurun, jika dibandingkan dengan beberapa bulan terakhir atau akhir tahun lalu. Perusahaan [smelter] sedang berjuang dengan isu ini. Jadi ya [kami mempertimbangkan pemangkasan produksi NPI].”
Terkait dengan rencana bisnis Tsingshan di Indonesia untuk 2025, Chen menyebut raksasa baja nirkarat terbesar di dunia itu akan memantau perkembangan margin di industri smelter terlebih dahulu.
“Katakanlah jika margin terus menipis, kami akan melihat kemungkinan perluasan pemangkasan atau bahkan penutupan sementara produksi di lini-lini operasi yang kurang prospektif. Menurut saya dalam waktu yang tidak lama lagi. Saya akan memberi kabar lagi nanti,” ujarnya.
Nikel diperdagangkan di harga US$15.395/ton hari ini di LME, melemah 0,28% dari penutupan hari sebelumnya.
Harga nikel sepanjang 2024 menyentuh rekor terendah dalam empat tahun terakhir setelah sebelumnya diproyeksikan mencapai US$18.000/ton, turun dari perkiraan sebelumnya di level US$20.000/ton, menurut lengan riset dari Fitch Solutions Company, BMI.
Gejala ambruknya harga nikel sudah terdeteksi sejak 2023. Rerata harga saat itu berada di angka US$21.688/ton atau terpelanting 15,3% dari tahun sebelumnya US$25.618/ton. Kemerosotan itu dipicu oleh pasar yang terlalu jenuh ditambah dengan lesunya permintaan.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)