Logo Bloomberg Technoz

Di sisi lain, Nurul mengatakan saat ini hilirisasi tembaga belum dalam posisi genting untuk dijadikan proyek strategis nasional (PSN). Dia menjelaskan proyek yang dijadikan PSN merupakan industri untuk kebutuhan nasional.

“Nanti tergantung diskusi kita, kalau misalnya kita bilang punya kebutuhan yang luar biasa untuk hilirisasi tembaga, itu kita lakukan. Tapi kan kita tahu bahwa di luar dari nikel, tembaga, timah, bauksit itu menjadi prioritas berikutnya,” imbuhnya. “Sehingga nanti kita lihat apa yang mau dilakukan oleh pemerintah untuk insentif-insentif yang bisa diberikan.”

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan produksi hampir seluruh mineral logam andalan Indonesia pada 2024 mengalami tren penurunan dibandingkan tahun sebelumnya.

Adapun produksi tembaga turun 25% dari 1,6 juta ton pada 2023 menjadi 1,2 juta ton pada 2024.

Sebelumnya, Direktur Utama PT Freeport Indonesia (PTFI) Tony Wenas menjelaskan hilirisasi industri tembaga tidaklah semudah nikel.  Menurut Tony, di industri pertambangan tembaga, nilai tambah terbesar dapat diperoleh dari investasi smelter untuk mengolah bijih tembaga menjadi konsentrat tembaga. Akan tetapi, nilai tambah dari menghilirkan konsentrat ke tahap selanjutnya menjadi katoda tembaga justru sangat kecil.

Produksi konsentrat tembaga itulah yang selama ini menjadi tulang punggung penambang besar di Indonesia, seperti Freeport atau PT Amman Mineral International Tbk (AMMN); sebelum pemerintah menggaungkan kebijakan hilirisasi industri tambang yang memaksa perusahaan pertambangan tembaga untuk berinvestasi ke smelter katoda.

Berbeda dengan nikel, kata Tony, bijih tembaga memang tidak lagi jika dijual dalam bentuk mentah seperti nickel ore.

“Kalau nickel ore masih banyak yang mau beli, bauxite ore masih banyak yang mau beli, tetapi copper ore tidak ada yang mau beli. Nah, tetapi dia [tembaga] nilai tambahnya paling besar dari [penghiliran ke level] konsentrat,” kata Tony dalam agenda Indonesia Mining Summit, Desember 2024.

Dia menjelaskan nilai tambah yang dihasilkan dari penghiliran bijih tembaga ke konsentrat mencapai 95%. “Tetapi dari konsentrat tembaga menjadi katoda tembaga, itu cuma 5% nilai tambahnya,” ujarnya.

Kondisi tersebut terbalik dari komoditas nikel, di mana makin hilir produk turunan bijih yang dihasilkan, nilai tambahnya akan makin tinggi.

“Makanya kalau dilihat angka-angka [ekspor nikel] dari US$2 miliar atau US$3 miliar lalu naik menjadi US$34 miliar, itu karena memang nilai tambahnya besar sekali. Mungkin sekitar 70%, yaitu dari proses smelter-nya,” terang Tony.

“Kalau di tembaga ini terbalik, di proses smelter-nya, nilai tambahnya kecil, tetapi di konsentrat, nilai tambahnya besar.”

Bagaimanapun, Tony mengaku Freeport tetap mendukung upaya hilirisasi industri pertambangan tembaga yang digalakkan pemerintah, sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).

Walakin, dia memberi catatan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dituntaskan bersama antara pemerintah dan pelaku agar misi hilirisasi industri pertambangan dapat lebih maksimal ke depannya.

Salah satunya adalah jaminan stabilitas politik, serta kepastian serapan pasar terhadap produk hilir yang dihasilkan dari investasi hilirisasi yang nilainya tidak sedikit.

“Pelaku usaha itu mau investasi di sektor apapun itu, memerlukan jaminan stabilitas politik. [...] Tinggal perlu mungkin fasilitasi, seperti tax holiday. Itu satu hal, tetapi fasilitas nonfiskal lainnya barangkali itu juga perlu ditingkatkan; seperti kemudahan berbisnis.”

(mfd/wep)

No more pages