Mengacu data OTC Bloomberg sampai tengah hari ini, yield 1Y naik 3,4 basis poin (bps) kini di 6,261%. Sedangkan tenor 2Y dan 5Y turun masing-masing 0,6 bps. Tenor acuan 10Y naik 1,1 bps kini di 6,839%. Kenaikan yield terbanyak dicatat oleh tenor 1Y yaitu hingga 3,4 bps dan tenor 6Y yang naik 2,4 bps.
Gerak harga saham dan obligasi yang cenderung tertekan dalam kisaran sempit itu terjadi ketika nilai tukar rupiah masih tertahan lemah di Rp16.298/US$ siang ini, setelah pagi tadi sempat menyentuh Rp16.311/US$.
Pelemahan rupiah akibat kebangkitan lagi indeks dolar AS di level 99,79 siang ini, sehingga menyeret lemah mayoritas mata uang Asia lain terutama rupee, yen, ringgit, juga dolar Singapura. Pelemahan rupiah jadi yang ketiga terdalam sampai siang ini di Asia.
Aksi investor di pasar domestik yang cenderung memilih keluar dulu jelang libur panjang, sudah menjadi tren lazim bila berkaca pada pergerakan indeks ketika jelang liburan panjang sebelumnya.
Investor asing pun mulai keluar. Berdasarkan data Bloomberg, asing membukukan net sell senilai Rp211,29 miliar, kemarin. Itu aksi jual pertama asing setelah selama empat perdagangan beruntun selalu net buy di ekuitas.
Sedangkan di pasar surat utang RI, berdasarkan data terakhir Kementerian Keuangan per 26 Mei lalu, asing juga mengurangi posisi di SBN dengan nilai penjualan Rp280 miliar, menghentikan enam hari perdagangan beruntun net buy di fixed income.
Investor memilih menghindari risiko gejolak pasar global yang mungkin terjadi selama bursa lokal ditutup. Dus, saat pasar kembali buka pada Senin, 2 Juni nanti, risiko penurunan harga aset yang mungkin terjadi akibat gejolak global bisa terhindari.
Sementara bila memang yang terjadi sebaliknya, ada katalis positif, para pemodal bisa lebih siap berebut aset di pasar.
Sepanjang tahun ini, bursa RI hanya beroperasi selama 237 hari saja, lebih sedikit dibanding tahun lalu yang mencapai 240 hari. Tahun ini, terdapat 128 hari libur bursa.
Ketika pasar domestik tutup, pasar keuangan internasional di berbagai dunia tetap beroperasi.
Lebih dari itu, pada hari-hari ke depan, terdapat jadwal rilis data serta kegiatan yang biasanya membawa dampak tidak kecil pada sentimen pasar yang akhirnya mempengaruhi pergerakan harga aset.
Malam nanti misalnya, atau Rabu pagi waktu Amerika, akan ada rilis data pertumbuhan ekonomi negeri itu pada kuartal 1-2025 untuk pembacaan kedua. Konsensus pasar sejauh ini memperkirakan ekonomi terbesar di dunia itu mengalami kontraksi pertumbuhan -0,3% dibanding kuartal sebelumnya.
Data konsumsi pribadi juga akan diumumkan di mana pasar memperkirakan akan ada pelemahan. Setelah data PDB dilansir, AS juga akan mengumumkan angka klaim pengangguran.
Lalu, pada Kamis waktu setempat, Biro Statistik AS akan mengumumkan tingkat inflasi Personal Consumption Expenditure (PCE) yang merupakan indeks favorit para pejabat Federa Reserve, bank sentral AS, dalam meramu kebijakan moneter.
Konsensus pasar sejauh ini memperkirakan inflasi inti PCE pada April akan melandai jadi 2,5% year-on-year, dibanding bulan sebelumnya 2,6%.
Data-data itu akan mempengaruhi ekspektasi akan tingkat suku bunga The Fed. Bila ekonomi AS ternyata masih cukup tangguh dengan inflasi lebih tinggi serta klaim pengangguran stabil, prospek penurunan Fed fund rate mungkin akan mengecil.
Itu akan menjadi sentimen buruk bagi aset-aset emerging market, tak terkecuali bagi rupiah serta aset ekuitas dan fixed income.
Lantas, ketika pasar RI kembali buka pada Senin nanti, data manufaktur akan banyak dirilis dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Sebagai pengingat, pada April, seperti diumumkan oleh S&P Global, aktivitas manufaktur yang tecermin dari Purchasing Managers’ Index (PMI) di Indonesia jatuh ke zona kontraksi di posisi 46,7, melorot signifikan ketimbang Maret yang mencapai 52,4.
PMI di bawah 50 mengindikasikan aktivitas yang berada di fase kontraksi, bukan ekspansi. Aktivitas manufaktur RI mengalami kontraksi untuk kali pertama dalam 5 bulan terakhir dan merupakan level terendah dalam 5 tahun terakhir.
Akrobat Trump
Selain akan digerakkan oleh sentimen dari data-data ekonomi di negara-negara utama, pasar juga akan terus mencermati gelagat Presiden AS Donald Trump. Trump sejak terpilih dalam Pemilu November lalu sudah berulang kali menjadi variabel kuat penggerak pasar dengan puncaknya adalah pada awal April silam ketika ia mengumumkan 'bom tarif' di Rose Garden, yang kemudian agak ternetralisir ketika tercapai kesepakatan dagang dengan Tiongkok.
Yang terbaru, pasar masih akan mencermati perkembangan pembicaraan antara AS dengan Uni Eropa, setelah sebelumnya Trump menjeda pemberlakuan tarif 50% barang dari EU sampai 9 Juli nanti.
Pasar juga masih menaruh perhatian besar pada perkembangan defisit fiskal AS setelah DPR negeri itu mengesahkan beleid pajak baru yang dinilai bakal menaikkan defisit lebih lebar ke depan. Regulasi pajak baru itu masih akan menunggu pengesahan Senat AS.
Pasar juga masih memberi perhatian pada apa yang terjadi di pasar obligasi Jepang. Rencana pemerintah Jepang menyesuaikan penerbitan obligasi negara, Japanese Government Bond (JGB), telah menjatuhkan harga surat utang negeri itu dan mengerek lagi daya tarik US Treasury. Alhasil, indeks dolar AS kembali bangkit.
Dengan lanskap global yang masih begitu dinamis itu, memilih keluar dulu dari pasar ketika bursa tidak beroperasi mungkin dinilai sebagai langkah lebih aman.
Pada siang hari ini, pergerakan pasar global terlihat cenderung lesu di pasar ekuitas. Berdasarkan data Bloomberg, indeks saham berjangka AS dan Eropa bergerak lebih rendah di tengah kenaikan indeks dolar AS dan kenaikan tipis yield US Treasury.
(rui)































