Dalam perkara ini, Harli Siregar menjelaskan bahwa pada periode tersebut terdapat pengadaan Chromebook dalam rangka program memenuhi kebutuhan program digitalisasi pendidikan tahun 2019-2022.
Anggaran untuk pengadaan laptop tersebut, kata Harli, dianggarkan sebesar Rp9,9 triliun, yang berasal dari anggaran pengadaan Teknologi, Informasi, dan Komputer (TIK) Kemendikbud sebesar Rp3,58 triliun, serta anggaran yang berasal dari Dana Alokasi Khusus (DAK) senilai Rp6,39 triliun.
Dia menduga terdapat pemufakatan jahat yang dilakukan tim teknis, dimana mereka membuat kajian teknis yang mengarahkan penggunaan laptop berbasis sistem operasi Chromebook. Padahal, sebelum setahun sebelum pengadaan itu sudah terdapat kajian yang menyatakan penggunaan Chromebook tidak optimal sebab terdapat kekurangan yang ditemukan.
Kekurangan tersebut antara lain, Chromebook hanya dapat efektif digunakan apabila terdapat jaringan internet. Sedangkan menurutnya, kondisi jaringan internet di Indonesia sampai saat ini diketahui belum merata, akibatnya penggunaan Chromebook sebagai sarana melaksanakan kegiatan Asesmen Kompetensi Minimal (AKM) pada satuan pendidikan berjalan tidak efektif.
Tim teknis terkait, akhirnya pada waktu itu telah mengeluarkan buku kajian yang merekomendasikan penggunaan sistem operasi Windows. Namun, Kemendikbudristek mengganti kajian tersebut dengan kajian baru yang mengubah penggunaan sistem operasi Windows menjadi Chromebook.
“Diduga penggantian spesifikasi tersebut bukan berdasarkan atas kebutuhan yang sebenarnya,” kata Harli.
(azr/frg)





























