Membandingkan dengan pekan-pekan sebelumnya, bila melihat data Bloomberg, nilai pembelian asing di SBN selama pekan lalu adalah yang terbesar sejak pekan yang berakhir pada 23 Agustus lalu.
Nilai pembelian asing di SBN memang positif sepanjang tahun ini. Bahkan sebenarnya posisi bullish asing di SBN sudah berlangsung sejak Desember lalu. Alhasil pemodal nonresiden mencetak net buy bulanan lima bulan beruntun sampai akhir April dan potensial melanjutkan posisi hijau sampai akhir bulan ini.
Penting dicatat, ketika tren belanja asing membesar di SBN, posisi Bank Indonesia di surat utang pemerintah juga terkikis turun.
Setelah sempat menyentuh level tertinggi sepanjang masa pada 20 Mei lalu sebesar Rp1.754,67 triliun (nett), pada 22 Mei posisi BI di SBN berkurang Rp68,05 triliun menjadi Rp1.686,62 triliun.
Masih cukup besar karena angka itu setara dengan 26,6% dari total outstanding di pasar, menjadikan Bank Indonesia sebagai penguasa terbesar SBN di pasar sekunder saat ini, mengalahkan perbankan yang menguasai pangsa 17,83%, juga industri asuransi dan dana pensiun yang memegang 18,86% nilai SBN di pasar.
Pindah dari SRBI
Animo asing yang terus membesar di SBN tidak bisa dilepaskan dari makin turunnya pamor instrumen yang ditujukan untuk menarik dana asing jangka pendek (hot money), yaitu SRBI.
Tingkat bunga diskonto SRBI terus dipangkas oleh bank sentral, sejurus dengan langkah Bank Indonesia yang menekankan akan terus mengurangi pemakaian SRBI untuk mendukung perbaikan kondisi likuiditas pasar.
Pada lelang SRBI terakhir Jumat pekan lalu, tingkat bunga tenor 12 bulan yang menjadi favorit selama ini, ambles menyentuh level terendah sejak pertama kali instrumen ini diperkenalkan pada 2023 silam. Bunga SRBI kini ada di 6,283% untuk tenor terpanjang 12 bulan.
Level bunga SRBI tersebut bahkan sudah jauh lebih rendah dibandingkan dengan SUN seri FR086 misalnya, yang saat ini masih memberikan imbal hasil 6,316%, seperti ditunjukkan oleh data Bloomberg.
Kepemilikan asing di SRBI telah berkurang Rp53,86 triliun sampai data 19 Mei lalu menjadi Rp869,67 triliun, bila dibanding posisi akhir Desember sebesar Rp923,53 triliun.
Sementara tenor 5Y, seperti FR0104 bahkan masih memberikan yield 6,405%. Begitu juga tenor acuan 10Y, seperti seri FR0103 yang memiliki imbal hasil 6,796%.
Dengan imbal hasil lebih menarik, terlebih didukung penguatan rupiah yang makin stabil sejauh ini di mana nilainya telah menguat 2,54% month-to-date, tidak mengherankan minat asing di SBN makin membesar.
Harga obligasi pemerintah terus melesat, salah satunya tercermin dari kenaikan indeks harga obligasi pemerintah, INDOBEX, yang menyentuh rekor level tertinggi sepanjang masa pada perdagangan Jumat lalu di posisi 399,37. Indeks ini sudah naik hampir 5% dari titik terendah tahun ini pada Januari silam.
Selama sebulan terakhir, yield SBN tenor pendek jadi yang terbanyak turun, yang mengindikasikan kenaikan harga obligasi. Yield SBN tenor 2Y sudah turun 33,4 basis poin, sebulan ini, sampai perdagangan Jumat pekan lalu.
Sedangkan tenor 5Y sudah turun 24,9 bps, bersama tenor 10Y turun yield-nya 13,1 bps pada periode yang sama.
Defisit APBN
Animo asing juga didukung oleh keyakinan yang masih terjaga melihat prospek defisit fiskal Indonesia. Realisasi kinerja APBN terakhir yang dipublikasikan oleh Kementerian Keuangan menunjukkan, Pemerintah RI berupaya menjaga rasio defisit fiskal agar tak sampai menyentuh batas atas yang diizinkan oleh regulasi yang berlaku.
Pada April, APBN tercatat surplus senilai Rp4,3 triliun atau setara 0,02% dari Produk Domestik Bruto. Posisi itu membalik situasi sebelumnya ketika dalam tiga bulan pertama tahun ini, anggaran negara membukukan defisit sebesar Rp104,2 triliun, setara dengan 0,43% dari Produk Domestik Bruto.
Capaian surplus pada April memperlihatkan Kementerian Keuangan berada dalam mode penghematan di mana belanja pada periode tersebut 'hanya' tercatat Rp806,2 triliun di kala sisi penerimaan tercatat sebesar Rp810,5 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, baik sisi belanja maupun pendapatan, keduanya berada dalam tren penguatan. Ia mengatakan di depan parlemen pada pekan lalu, anggaran negara disebut masih memadai untuk mendukung program pemerintah secara optimal.
Dibandingkan dengan posisi April 2024, terlihat bahwa penerimaan negara pada bulan keempat tahun ini tercatat lebih rendah 12,4%. Sementara pengeluaran pada saat yang sama turun 5%. Artinya, surplus yang terjadi kemungkinan lebih karena upaya penghematan alih-alih penambahan penerimaan yang signifikan.
Bagi pasar, hal itu dilihat sebagai komitmen penyelenggara negara, selaku penerbit surat utang, untuk memastikan target defisit tahun ini terjaga. Yaitu sebesar 2,53% atau setara Rp616,2 triliun, sesuai UU No.62 tahun 2024.
Risiko Pembalikan
Tren belanja asing di SBN di satu sisi memberikan cerminan mulai kuatnya lagi keyakinan investor global untuk berinvestasi di aset RI bahkan ketika selisih imbal hasil dengan surat utang AS menyempit. Namun, situasi positif saat ini menghadapi kerentanan yang membutuhkan kewaspadaan.
Yakni, bila tren kenaikan yield UST berlanjut hingga mempersempit yield spread dengan obligasi pemerintah RI. Saat ini selisih imbal hasil dengan AS mencapai 226 basis poin, sudah lebih kecil setelah sempat melebar hingga 300 basis poin.
Bila rupiah kembali menghadapi tekanan, semisal karena tekanan permintaan dolar AS musiman memasuki musim repatriasi dividen, musim haji, juga pembayaran utang jatuh tempo pemerintah sampai Juli nanti, selisih imbal hasil yang terlalu sempit akan membuat daya tarik SBN bisa turun dengan cepat.
Begitu juga ketika tensi perang dagang kembali panas seiring berakhirnya tenggat waktu jeda tarif resiprokal pada awal Juli nanti, turbulensi pasar global kemungkinan akan kembali tajam dan bisa mengubah cerita di pasar obligasi domestik.
-- koreksi pada judul untuk total pembelian asing di SBN sepanjang tahun.
(rui/aji)

































