Sebagai informasi, Djaka Budhi Utama sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris Utama Badan Intelijen Negara (BIN). Jabatan tersebut diemban sejak Oktober 2024, tepatnya setelah dia mengakhiri jabatannya sebagai Inspektur Jenderal Kementerian Pertahanan (Irjen Kemenhan). Penunjukkan sebagai Irjen Kemenhan ini ditetapkan melalui Surat Keputusan Panglima TNI pada 14 Juni 2024.
Sebelum itu, pada tahun 2023 hingga 2024, Letjen Djaka Budi diangkat menjadi Asisten Intelijen (Asintel) Panglima TNI. Kopassus jebolan Akademi Militer (Akmil) tahun 1990 ini juga pernah menjadi Deputi Bidang Koordinasi Politik Dalam Negeri Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) tahun 2021-2023.
Sebelumnya, dia juga sempat menempati posisi strategis lain, yakni Kepala Staf Kodam (Kasdam) XII/Tanjungpura tahun 2020-2021.
Di awal karier militer, ia pernah menjabat sebagai Komandan Batalyon Infanteri 115/Macan Lauser pada 2004 - 2007. Setelah itu, Letjen Djaka Budi dipercaya menjadi Komandan Kodim 0908/Bontang, sebelum akhirnya menjabat Komandan Korem 012/Teuku Umar pada tahun 2016-2017.
Letjen TNI Djaka Budi juga pernah memegang posisi sebagai Komandan Pusat Intelijen Angkatan Darat (Danpusintelad) pada 2017-2018. Lalu, kariernya berlanjut sebagai Wakil Asisten Pengamanan KSAD (Waaspam KSAD) pada tahun 2018 hingga 2020.
Menyitir berbagai sumber, berikut daftar Dirjen Bea Cukai:
- 1946–1950: Raden Abdoerachim Kartadjoemena
- 1950–1958: G. J. E. Tapiheroe
- 1958–1961: M. Malik Salawat
- 1961–1965: Hans Alexander Pandelaki
- 1965–1972: Padang Soedirjo
- 1972–1973: Slamet Danoesoedirdjo
- 1973–1981: Tahir
- 1981–1983: Wahono
- 1983–1985: Bambang Soejarto
- 1985–1986: Radius Prawiro
- 1986–1988: Hardjono
- 1988–1991: Sudjana Soerawidjaja
- 1991–1998: Soehardjo
- 1998–1999: Martiono Hadianto
- 1999–2002: R. B. Permana Agung Dradjattun
- 2002–2006: Eddy Abdurrachman
- 2006–2009: Anwar Suprijadi
- 2009–2011: Thomas Sugijata
- 2011–2015: Agung Kuswandono
- 2015: Supraptono (Pelaksana tugas)
- 2015–2021: Heru Pambudi
- 2021–sekarang: Askolani
Sebagai gambaran, pada 6 Juni 1968, Ali Wardhana sebagai Menteri Keuangan melihat banyak penyelewengan dan korupsi di Bea dan Cukai. Ketika Ali Wardhana mengunjungi kantor Bea Cukai di Tanjung Priok pada Mei 1971, dia melihat para petugas tengah bersantai. Ali juga mendapati kabar adanya penyelundupan ratusan ribu baterai merek terkenal.
“Padahal, ia [Ali] baru memberikan tunjangan khusus sebesar sembilan kali gaji. Kenaikan tersebut bukan sembarang hadiah, melainkan disertai tuntutan kenaikan pelayanan dan peniadaan penyelewengan,” tulis Saeful Anwar dan Anugrah E.Y. (ed.) dalam Organisasi Kementerian Keuangan dari Masa ke Masa, dikutip melalui Media Keuangan.
Dengan adanya kasus dan citra buruk tersebut, dalam pidato pelantikan, Radius Prawiro menekankan bahwa para penyelundup “akan kita perangi sampai ke akar-akarnya.” Namun, penyelewengan dan penyelundupan Bea dan Cukai belum lenyap. Keluhan juga datang dari pengusaha, termasuk pengusaha Jepang, mengenai aparat Bea dan Cukai yang ribet, berbelit-belit, dan pada akhirnya melakukan pungutan liar.
Maka, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1985 tentang Kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang Untuk Menunjang Kegiatan Ekonomi. Beleid itu dikeluarkan setelah berdiskusi dengan para menterinya dan mendapat penilaian dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
Berpegang pada Instruksi Presiden, maka diambil keputusan untuk mempercayakan sebagian wewenang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai kepada PT Surveyor Indonesia yang bekerjasama dengan sebuah perusahaan swasta asal Swiss bernama Societe Generale de Surveillance (SGS).
Kewenangan itu kemudian dikembalikan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setelah Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan diterapkan secara efektif pada 1 April 1997, yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Kepabeanan.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 juga memberikan kewenangan lebih besar kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sesuai dengan lingkup tugas dan fungsi yang diemban.
Kembali ke jaman saat ini, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai kebijakan menempatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada posisi Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan merupakan langkah yang kurang tepat.
Pertama, Bhima melanjutkan, tidak ada jaminan pengawasan bea cukai menjadi makin baik dengan adanya TNI pada pucuk kepemimpinan Bea dan Cukai, bahkan bisa memicu adanya penyalahgunaan wewenang.
"Kedua, militer masuk jabatan sipil akan merusak jenjang karier pegawai bea cukai internal, dan memicu demoralisasi para pegawai bea cukai," ujar Bhima kepada Bloomberg Technoz, dikutip Kamis (22/5/2025).
Ketiga, upaya meningkatkan pendapatan bea cukai bukan sekadar ketegasan dalam pengawasan barang ilegal, tetapi juga butuh konseptor misalnya untuk perluasan barang kena cukai, yang di mana hal tersebut bukan urusan militer.
"Khawatir target penerimaan bea masuk Rp301,6 triliun bakal terjadi shortfall [penurunan] lagi tahun ini. Apalagi di tengah perang dagang, banjir barang impor ilegal, hingga merebaknya rokok ilegal," ujarnya.
Kementerian Keuangan melaporkan realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai adalah Rp100 triliun hingga 30 April 2025. Angka ini tumbuh 4,4% (yoy) dibandingkan dengan Rp95,7 triliun pada periode yang sama tahun lalu.
(red)































