Penyebabnya, sekitar 90% pertumbuhan pasokan produk hasil smelter berasal dari pemasok tunggal teratas saja: Indonesia untuk nikel serta China untuk kobalt, grafit, dan tanah jarang.
“Analisis terperinci kami terhadap proyek yang diumumkan menunjukkan bahwa kemajuan menuju rantai pasok penyulingan [smelter] yang lebih beragam akan berjalan lambat,” tulis lembaga yang berbasis di Prancis itu.
“Melihat ke depan hingga 2035, pangsa rata-rata dari tiga pemasok bahan olahan teratas diproyeksikan hanya akan menurun sedikit menjadi 82%, yang secara efektif kembali ke tingkat konsentrasi yang terlihat pada 2020.”
Sebanyak dua pertiga dari pertumbuhan kapasitas daur ulang baterai global sejak 2020 berada di China.
Sentralisasi Pertambangan
Di sisi lain, aktivitas pertambangan juga menunjukkan tren yang sama, meskipun tetap agak kurang terkonsentrasi dibandingkan dengan smelter.
Pertumbuhan terbaru dalam hasil pertambangan berasal dari produsen mapan seperti Republik Demokratik Kongo (DRC) untuk kobalt; Indonesia untuk nikel; dan China untuk grafit dan tanah jarang.
Akibatnya, pangsa pasar rata-rata dari tiga negara pertambangan teratas untuk mineral energi utama naik dari 73% pada 2020 menjadi 77% pada 2024.
Litium merupakan pengecualian penting, dengan sebagian besar pertumbuhan pasokan berasal dari produsen baru seperti Argentina dan Zimbabwe.
Ke depannya, menurut IEA, beberapa diversifikasi mulai terlihat untuk pertambangan litium, grafit, dan tanah jarang. Namun, konsentrasi geografis diperkirakan meningkat untuk tembaga, nikel, dan kobalt.
“Secara keseluruhan, pangsa tiga negara penambang teratas diproyeksikan sedikit menurun ke level yang terlihat pada 2020, serupa dengan tren yang diamati dalam industri smelter,” papar laporan itu.
Pertumbuhan Permintaan
Secara global, IEA melaporkan permintaan mineral energi utama terus tumbuh pesat pada 2024.
Permintaan litium meningkat hampir 30%, jauh melampaui tingkat pertumbuhan tahunan 10% yang terlihat pada 2010-an. Adapun, permintaan anual nikel, kobalt, grafit, dan tanah jarang meningkat 6%—8% pada 2024.
Pertumbuhan ini sebagian besar didorong oleh aplikasi energi seperti kendaraan listrik, penyimpanan baterai, energi terbarukan, dan jaringan listrik.
Dalam kasus tembaga, perluasan investasi jaringan listrik yang pesat di China telah menjadi kontributor tunggal terbesar terhadap pertumbuhan permintaan global selama dua tahun terakhir.
Untuk logam baterai seperti litium, nikel, kobalt, dan grafit; sektor energi menyumbang 85% dari total pertumbuhan permintaan selama periode yang sama.
Meskipun permintaan tumbuh pesat, peningkatan pasokan yang besar – dipimpin oleh China, Indonesia, dan Republik Demokratik Kongo – memberikan tekanan ke bawah pada harga, terutama untuk logam baterai.
Peningkatan pesat dalam produksi logam baterai menyoroti kemampuan sektor ini untuk meningkatkan pasokan baru lebih cepat daripada logam tradisional seperti tembaga dan seng.
Sejak 2020, pertumbuhan pasokan logam baterai telah dua kali lipat dari tingkat yang terlihat pada akhir 2010-an.
Akibatnya, menyusul lonjakan harga yang tajam pada 2021 dan 2022, harga mineral energi utama terus menurun, kembali ke tingkat sebelum pandemi. Harga litium, yang telah melonjak delapan kali lipat selama 2021—2022, turun lebih dari 80% sejak 2023.
Harga grafit, kobalt, dan nikel juga turun 10 hingga 20% pada 2024. Meskipun ada ekspektasi yang kuat untuk pertumbuhan permintaan di masa mendatang, keputusan investasi saat ini menghadapi ketidakpastian pasar dan ekonomi yang signifikan.
Momentum investasi dalam pengembangan mineral penting melemah pada 2024, dengan pengeluaran meningkat hanya 5%, turun dari 14% pada 2023.
Setelah disesuaikan dengan inflasi biaya, pertumbuhan investasi riil hanya 2%. Aktivitas eksplorasi mencapai titik jenuh pada 2024, menandai jeda dalam tren kenaikan yang terlihat sejak 2020.
Sementara itu, investasi eksplorasi terus meningkat untuk litium, uranium, dan tembaga. Investasi tersebut menurun terutama untuk nikel, kobalt, dan seng. Pendanaan awal juga menunjukkan tanda-tanda perlambatan.
“Harga mineral yang rendah saat ini tidak memberikan sinyal untuk berinvestasi, dan proyek yang melibatkan pendatang baru paling terpengaruh oleh ketidakpastian tersebut,” kata IEA.
(wdh)

































