Bloomberg Technoz, Jakarta - Lingkungan dunia pekerjaan Indonesia menjelang pertengahan tahun atau Mei 2025 ini terbilang cukup mengkhawatirkan, dengan angka pemutusan hubungan kerja (PHK) yang tinggi.
Teranyar, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) melaporkan jumlah PHK yang terjadi di seluruh Indonesia per 20 Mei ini mencapai 26.455 orang, mengalami kenaikan lebih dari 10% dari laporan PHK per 23 April lalu yang sebanyak 24.036 orang.
Jika disimulasikan sejak awal tahun atau 1 Januari 2025 ini, total angka tersebut mencerminkan setidaknya terdapat sebanyak 188 pekerja terkena PHK dari perusahaan dalam waktu hanya sehari saja.
Per 20 Mei 2025 ada 26.455 [orang ter-PHK]. Wilayah Jawa Tengah tertinggi, nomor 2 Jakarta, nomor 3 Riau," ujar Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Indah Anggoro Putri kepada wartawan, baru-baru ini.
Indah memerinci, Jawa Tengah sejak Januari hingga Mei mencatatkan PHK sebanyak 10.695 orang. Sementara itu, Daerah Khusus Jakarta sebanyak 6.279 orang, serta Kepulauan Riau mencapai 3.570 orang.
Sektor industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran, dan sektor jasa mencatatkan sektor yang paling melakukan PHK, kata Indah. Namun dia tak memerinci berapa prosi jumlahnya.
Indah hanya memastikan jika data terbaru tersebut merupakan angka yang valid, berdasarkan laporan dari seluruh kantor Dinas Ketenagakerjaan masing-masing daerah.
Bukan sekadar angka, pemerintah nampaknya perlu mengkhawatirkan maraknya PHK yang terjadi semenjak awal hingga menjelang pertengahan tahun ini.
Laporan Dunia Ketenagakerjaan terbaru Badan Pusat Statisitik (BPS) per Februari lalu juga menyuguhkan data jika pengangguran di Indonesia mencapai 7,28 juta orang.

Pada saat yang sama, juga terjadi kenaikan tren pengangguran pada lulusan perguruan tinggi, sekaligus menambah sinyal mengkhawatirkan tentang makin sulitnya ketersediaan lapangan kerja yang mampu menyerap.
Berdasarkan data yang sama, tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia tersebut mencapai 4,76%, sekaligus menjadi rasio terendah setelah masa pandemi Covid-19 lalu.
Dari jumlah angka pengangguran tersebut, lulusan SMA menyumbang porsi pengangguran terbesar yaitu hingga 28,01%, lalu tamatan SMK sebanyak 22,37%, disusul lulusan SD atau lebih rendah sebanyak 17,09%.
Kemudian, tamatan SMP turut menyumbang pengangguran sekitar 16,20%. Disusul oleh pengangguran tamatan diploma IV hingga S-3 sebanyak 13,89%, juga lulusan diploma I-III mencapai 2,44%.
Pengangguran Sarjana Makin Banyak
Data ini juga menunjukkan jika tren tingkat pengangguran lulusan perguruan tinggi yang terus meningkat secara konsisten dalam empat tahun terakhir. Per Februari 2025, tingkat pengangguran lulusan universitas menyentuh level tertinggi sejak 2021, yakni di angka 6,23%.
Pada Februari 2023, 'sumbangan' terhadap jumlah penganggur mencapai 9,43%, lalu pada Februari 2024 persentasenya naik jadi 12,21% hingga terakhir menjadi yang tertinggi tiga tahun ini yaitu 13,89%. Angka itu setara dengan 1,01 juta lulusan sarjana yang masih menganggur.
Dalam kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia yang dilansir beberapa waktu lalu, tren peningkatan pengangguran tamatan pendidikan tinggi di Indonesia saat ini perlu diwaspadai.
Pada saat terjadi kemerosotan ekonomi, tingkat pengangguran individu dengan pendidikan menengah dan tinggi cenderung meningkat lebih tajam dibanding pengangguran di tamatan pendidikan lebih rendah.
Peningkatan pengangguran lulusan universitas yang signifikan, kata laporan itu, mencerminkan tren yang diamati pada krisis ekonomi di masa lalu. Yakni jadi salah satu indikator terjadinya kemerosotan ekonomi dan kerentanan pasar kerja.
"Pergeseran ini menunjukkan bahwa, seperti yang terlihat pada krisis-krisis sebelumnya, individu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi menghadapi lebih banyak tantangan dalam mendapatkan pekerjaan," kata para ekonom UI tersebut.

Sebagai gambaran, pada tahun 1998, tingkat pengangguran lulusan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi masing-masing sebesar 10,95% dan 11,00%, sementara tingkat pengangguran untuk individu yang tidak memiliki pendidikan formal atau hanya berpendidikan dasar jauh lebih rendah, yaitu 1,04% dan 2,70%.
Pola yang sama muncul selama krisis 2008, dengan tingkat pengangguran untuk kelompok terdidik mencapai 11%-12%, sementara tingkat pengangguran untuk kelompok yang kurang terdidik tetap di bawah 6%.
Tingkat pengangguran yang lebih tinggi di antara kelompok berpendidikan menunjukkan peningkatan persaingan untuk pekerjaan bergaji tinggi di sektor modern.
Lapangan Kerja Sulit
Laporan hasil Survei Konsumen terbaru Bank Indonesia (BI) juga menunjukkan para lulusan sarjana mengalami kesulitan masuk ke pasar kerja. Ketersediaan lapangan kerja di Indonesia saat ini, di mata para tamatan universitas, semakin sempit.
Ini terindikasi dari penurunan Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja kelompok ini yang turun dalam empat bulan beruntun. Meski masih di level optimistis, yaitu di angka 104,6 per April 2025, tapi tren penurunannya mulai mencemaskan, mencapai 28,4 poin dalam empat bulan saja.
Selain itu, Indeks Ekspektasi Ketersediaan Lapangan Kerja tamatan perguruan tinggi juga turun sedikit 0,9 poin pada April. Masih di zona optimistis, akan tetapi angkanya berada di level terendah juga sejak September 2021 lalu ketika perekonomian masih dihantui pandemi.
(ain)