Logo Bloomberg Technoz

Menakar Efektivitas Denda di Balik Relaksasi Ekspor Mineral

Rezha Hadyan
26 May 2023 11:00

Menteri ESDM Arifin Tasrif bersama Presdir PT Freeport Indonesia Toni Wenas di Smelter Manyar, Gresik. (Dok. Kementerian ESDM)
Menteri ESDM Arifin Tasrif bersama Presdir PT Freeport Indonesia Toni Wenas di Smelter Manyar, Gresik. (Dok. Kementerian ESDM)

Bloomberg Technoz, Jakarta – Pro dan kontra mewarnai rencana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merelaksasi aturan pelarangan ekspor konsentrat mineral lewat penerbitan aturan perpanjangan ekspor komoditas hasil tambang itu hingga Mei 2024.

Relaksasi ekspor konsentrat mineral dibarengi dengan tenggat pembangunan fasilitas pemurnian mineral (smelter) di dalam negeri paling lambat 10 Juni 2024 dengan sanksi penempatan jaminan kesungguhan dan denda administratif yang termaktub dalam Keputusan Menteri ESDM No. 89/2023 tentang Pedoman Pengenaan Denda Administratif Keterlambatan Pembangunan Fasilitas Pemurnian Mineral Logam di Dalam Negeri.

Pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menilai kebijakan relaksasi ekspor konsentrat mineral tidak sejalan dengan semangat penghiliran industri pertambangan yang digaungkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Saya kira kebijakan ini sudah mencederai kebijakan Jokowi yang sudah susah payah diwujudkan, sampai bersitegang dengan Organisasi Perdagangan Dunia [World Trade Organization/WTO]. Di luar sana keras, tetapi di dalamnya malah sebaliknya demi keuntungan,” katanya ketika dihubungi oleh Bloomberg Technoz, Jumat (26/5/2023).

Sanksi/denda keterlambatan pembangunan smelter mineral. (Sumber: Kementerian ESDM)


Dia pun berpendapat, sanksi lain berupa penempatan jaminan kesungguhan dan denda administratif yang tertuang dalam Kepmen ESDM No. 89/2023, tak lebih dari sekadar “penggembira”. Sebab, nilai ekspor perusahaan tambang yang belum menyelesaikan pembangunan smelter-nya itu jauh lebih besar dibandingkan dengan jaminan dan denda tersebut.