Kajian yang dilansir LPEM Universitas Indonesia juga memperkirakan BI Rate kemungkinan masih ditahan lagi pada RDG kali ini.
"Inflasi dan stabilitas rupiah baru-baru ini menunjukkan adanya ruang untuk pelonggaran moneter. Namun, masih belum jelas apakah stabilitas ini akan berkelanjutan. Mengingat masih ada risiko eksternal, BI perlu mempertahankan BI rate di 5,75% dan tetap berhati-hati sampai kondisi global menjadi lebih dapat diprediksi," kata Ekonom LPEM UI Teuku Riefky.
Satria Sambijantoro, Head of Research Bahana Sekuritas, juga berpendapat sebaiknya BI rate ditahan lagi di level saat ini pada pertemuan Mei.
Menurutnya, mungkin memang ada sedikit pembenaran untuk melonggarkan kebijakan bila melihat posisi nilai tukar rupiah saat yang sudah kembali ke level Rp16.400/US$. Namun, posisi tersebut sebenarnya tetap sama dengan empat bulan silam. "Bahkan bank sentral harus khawatir karena USDIDR lebih lemah dalam perspektif perdagangan, karena mata uang tersebut tidak terapresiasi meskipun tren dolar secara umum melemah," kata Satria dalam catatannya.
Indeks dolar, DXY, sudah mencatat pelemahan 8,3% sepanjang tahun ini. Pada saat yang sama, rupiah masih membukukan pelemahan year-to-date sebesar 1,89%, menjadi satu dari dua mata uang yang melemah tahun ini ketika mayoritas mata uang Asia bergerak menguat mengalahkan dolar.
Selain itu, di pasar global saat ini masih berlangsung aksi jual. Pasar surat utang domestik memang membukukan reli tak terduga di tengah situasi tersebut. Namun, arus keluar modal asing yang masih besar nilainya di pasar saham, diikuti oleh net buy lima bulan beruntun di pasar SUN hingga hampir US$ 2 miliar, membuka risiko pembalikan arah.
"Posisi asing yang kuat di pasar obligasi rentan terhadap pembalikan, terutama jika tidak ada penahan valas yang kuat oleh BI," kata Satria.
Bank sentral global yang memangkas suku bunga tahun ini telah membuat mata uang mereka terpukul, "Jadi, mengapa BI ingin melakukan hal yang sama?" kata Satria.
Yang terjadi pada aussie alias dolar Australia bisa menjadi contoh. Setelah Reserve Bank of Australia memangkas suku bunga utamanya sebesar 25 basis poin menjadi 3,85%, AUD turun 1% menjadi mata uang global dengan kinerja terburuk di dunia kemarin.
"Kami pikir DXY akan mengalami rebound teknis, yang dapat memperbarui tekanan pada rupiah ke depannya," kata ekonom.
DXY pada sesi Asia pukul 11:24 WIB, melemah di 99,66. Bila membandingkan dengan posisi pada akhir April, indeks tersebut hanya naik 0,2%. Rupiah mencatat penguatan 1,15% pada periode yang sama.
Resesi Teknikal
Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Fakhrul Fulvian berpandangan sebaliknya. Menurutnya, urgensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi justru kian besar di tengah prospek perekonomian global yang suram akibat perang dagang.
Senada, Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro juga memperkirakan BI Rate bisa turun.
"Kami melihat akan adanya ruang BI Rate dipangkas sekali lagi ke angka 5,5%. Mungkin paling cepat, kalau memang rupiahnya relatif stabil, ada ruang pemangkasan suku bunga acuan 25 bps di RDG di bulan ini," kata Andry.
Mengacu data Bloomberg, rupiah spot telah mencatat penguatan hingga 2,74% dari posisi terakhir pada RDG April lalu ketika BI memutuskan kembali menahan BI Rate.
Dalam konferensi pers usai pertemuan April itu, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, "Ke depan, Bank Indonesia terus mencermati ruang penurunan BI Rate lebih lanjut dengan mempertimbangkan stabilitas rupiah, prospek inflasi dan perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi."
Pernyataan itu, menurut pandangan ekonom, sudah menemui momentumnya saat ini yakni ketika rupiah sudah menguat dan stabil, inflasi terkendali dengan kondisi perekonomian membutuhkan stimulasi.
Perekonomian RI memang tengah berada dalam kondisi kurang baik yang diperkirakan akan berlanjut hingga beberapa kuartal ke depan. Pada kuartal 1-2025, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 4,87%, yang menjadi laju terendah sejak 2021 silam.
Hasil survei terakhir yang digelar Bloomberg pada akhir April, perekonomian Indonesia diperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 4,80% pada kuartal II ini, lebih rendah dibanding capaian kuartal pertama. Angka prediksi itu juga lebih rendah dibanding proyeksi ekonom sebelumnya sebesar 5%.
Bila prediksi itu terealisasi, berarti terjadi kontraksi kuartalan lagi karena pada kuartal pertama lalu ekonomi RI sudah mencatat pertumbuhan negatif 0,98%. Kontraksi pertumbuhan dalam dua kuartal beruntun mencerminkan kondisi resesi teknikal.
Istilah "resesi teknikal" sering digunakan untuk menggambarkan kondisi awal atau awal dari resesi yang lebih luas dan berkelanjutan, yang dapat mencakup indikator ekonomi lainnya seperti ketenagakerjaan dan investasi.
Hasil survei tersebut juga memperkirakan, laju Produk Domestik Bruto di angka 4,80% diprediksi bertahan hingga dua kuartal berikutnya sehingga membawa total capaian pertumbuhan ekonomi tahun ini tak lebih dari angka 4,80%.
Ekonomi RI pada 2026 diperkirakan sedikit menggeliat namun masih sulit mencapai laju 5%. Para ekonom yang disurvei oleh Bloomberg memperkirakan PDB hanya tumbuh 4,90% pada tahun depan, lebih rendah ketimbang prediksi sebelumnya 5,1%.
Para ekonom juga memperkirakan, Indonesia menghadapi potensi resesi dalam 12 bulan ke depan dengan probabilitas mencapai 10%, menurut 7 responden.
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam pernyataannya di Rapat Paripurna DPR-RI kemarin, mengatakan lanskap global saat ini tengah dalam fragmentasi tajam yang mengancam kinerja perdagangan.
"Dalam lanskap tatanan dan tata kelola dunia saat ini, globalisasi dan semangat kerjasama antar negara telah berubah menjadi fragmentasi dan persaingan sengit antar negara di semua segi," ujar Sri Mulyani.
Dia menjelaskan blok kesepakatan dagang dan investasi yang dibangun antar negara telah ditinggalkan dan tidak dihormati. Situasi ini menciptakan gangguan rantai pasok global yang menjadi pondasi bagi sistem globalisasi, sehingga meningkatkan biaya transaksi global.
"Volatilisas dan ketidakpastian global telah melemahkan kegiatan ekspor dan impor serta mendorong aliran modal keluar," kata Sri Mulyani. Hal ini pada gilirannya mengancam nilai tukar rupiah, meningkatkan inflasi, dan suku bunga global tetap tinggi.
Arus Modal Asing
Pasar masih bertaruh BI akan memangkas bunga acuan, hingga memberi energi pada lonjakan penawaran dalam lelang Surat Utang Negara kemarin.
Nilai incoming bids lelang SUN kemarin menembus rekor tertinggi sejak Agustus 2021, mencapai Rp108 triliun, dipanaskan oleh ekspektasi investor yang membesar akan pemangkasan bunga acuan.
Sementara di pasar saham, reli kenaikan indeks terhenti dengan langkah asing memperkecil belanja.
Investor asing membukukan net sell tipis hari ini sebesar US$ 24,7 juta, sekitar Rp406,19 miliar, setelah empat hari perdagangan terakhir membukukan net buy senilai total Rp5,4 triliun.
Selama Mei ini, asing telah mencatat net buy di pasar ekuitas domestik sebesar US$ 113,4 juta month-to-date. Sedangkan di pasar surat utang negara, pemodal global mencetak net buy senilai US$ 584,9 juta pada periode yang sama, sehingga total posisi sepanjang tahun mencapai net buy US$ 1,76 miliar.
Adapun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), asing masih mencatat posisi jual bersih senilai Rp20,54 triliun sepanjang tahun ini hingga data 15 Mei lalu, seperti dilansir Bank Indonesia.
-- update grafis dan penambahan komentar analis.
(rui/aji)




























