“Misalnya kayak China kemarin saja, stoknya masih berapa nih, butuh enggak stoknya dari Indonesia. Kalau misalnya enggak butuh, ya otomatis itu akan mengurangi dari ekspor.”
Merambah India
Gita menjelaskan batu bara Rusia saat ini sudah mulai makin agresif masuk ke China dan India. Bahkan, India yang juga merupakan negara pasar utama tujuan ekspor batu bara Indonesia telah membuat kesepakatan dengan Rusia untuk memasarkan batu baranya.
“Nah gini, kita belum tau kan. Secara spek memang ada beberapa batu bara dari Rusia yang mirip banget dengan kita. Secara spesifikasinya. Itu pastinya akan berpengaruh [ke ekspor Indonesia],” ucapnya.
Di sisi lain, Gita menyebut permintaan batu bara saat ini sudah mulai membaik setelah tiga bulan di awal tahun ini mengalami penurunan. Namun, dia tidak mengelaborasi lebih detil mengenai permintaan baru bara tersebut.
Vice President, Head of Marketing, Strategy and Planning PT Kiwoom Sekuritas Indonesia Oktavianus Audi menjelaskan agresivitas Rusia memacu ekspor batu bara ke China dipengaruhi oleh instruksi Presiden Vladimir Putin untuk mencapai target pengangkutan kargo sebesar 180 juta ton ke Timur.
Rusia juga tengah menjalin hubungan diplomatik yang erat dengan China, guna mencari dukungan di tengah banjir sanksi Barat terhadap sektor energi Kremlin.
Menurut data International Energy Forum (IEF), ekspor batu bara Rusia ke China menembus 76 juta ton pada Januari—Februari 2025, rekor tertinggi dalam 4 tahun terakhir periode yang sama.
“Beberapa faktor pendorong ekspor batu bara Rusia ini di antaranya; pertama, sanksi internasional terhadap Rusia. Kedua, hubungan energi Rusia dan China dan juga harga batu bara yang lebih kompetitif,” ujar Audi.
Tak pelak, Audi berpandangan fenomena lonjakan impor batu bara Rusia oleh China tersebut turut berdampak pada ekspor si batu hitam Indonesia.
Hal itu terindikasi dari data Badan Pusat Statistik (BPS) pada kuartal I-2025 yang memperlihatkan penurunan nilai ekspor batu bara sebesar 17,83% year on year (yoy) menjadi US$6,22 miliar. Periode yang sama, volume ekspor batu bara juga turun 4,34% yoy menjadi 91,97 juta ton.
Selain akibat persaingan ketat dengan batu bara Rusia di pasar China, Audi menilai kebijakan harga batu bara acuan (HBA) yang diterapkan sebagai harga minimum dalam transaksi ekspor turut memperberat kinerja penjualan batu bara ke China.
“Terlebih, sebelumnya ada penolakan dari China yang lebih memilih indeks harga yang lebih fleksibel,” ujarnya.
Per April 2025, HBA periode kedua ditetapkan sebesar US$120,20/ton untuk kalor 6.322 kcal/kg GAR. Nilai tersebut jauh berada di atas harga batubara global, seperti Newcastle Coal yang sebesar US$97,5 per ton.
HBA Indonesia bahkan jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga batu bara Rusia FOB Baltik (6.000 kcal/kg NAR) yang hanya US$63—US$66 per ton dan batubara steam (5.500 kcal/kg) yang hanya US$100 per ton.
“Sehingga hal ini yang mendorong kekhawatiran terjadi penurunan ekspor batu bara Indonesia ke China,” kata Audi.
(mfd/wdh)