Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China menjadi penyebab anjloknya Purchasing Managers’ Index (PMI) Indonesia ke level 46,7 pada April 2025.

Menurut Airlangga, perang dagang menganggu optimisme perdagangan internasional. Terlebih, pertumbuhan ekonomi di Negeri Paman Sam terkoreksi pada kuartal I-2025.

Sekadar catatan, produk domestik bruto (PDB) riil di AS tercatat turun 0,3% secara tahunan pada kuartal I-2025, jauh di bawah rata-rata pertumbuhan sekitar 3% dalam dua tahun terakhir, menurut estimasi awal pemerintah yang dirilis pada Rabu (30/4/2025).

"PMI turun karena perang dagang. Jadi dunia perdagangan mengalami penysutan, pertumbuhan AS juga negatif. Jadi ini namanya optimisme yang terganggu oleh perang dagang," ujar Airlangga saat ditemui di kantornya, Jumat (2/5/2025).

PMI Manufaktur Indonesa (Sumber: Bloomberg, S&P Global)

Airlangga mengatakan perang dagang tersebut menghentikan laju perdagangan antara AS dan China. Walhasil, Indonesia sebagai bagian dari rantai pasok global juga turut terdampak.

Namun, Airlangga mengatakan pemerintah Indonesia tetap optimistis terhadap proyeksi perdagangan ke depan. Terlebih, menurutnya, perdagangan di kawasan (regional) masih relatif aman.

Dengan  demikian, Indonesia mendorong finalisasi negosiasi kerja sama ekonomi komprehensif dengan Uni Eropa (UE), atau Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA).

Rampungnya kerja sama tersebut dibutuhkan untuk melakukan diversifikasi pasar ekspor, khususnya di tengah perang dagang antara AS dan China.

Selain itu, pemerintah melalui satuan tugas deregulasi juga tengah menyiapkan paket-paket kebijakan yang dibutuhkan untuk mengurangi hambatan dalam regulasi.

"Jadi kita lakukan saja ke depan apa-apa yang harus kita lakukan agar biaya untuk manufaktur itu tidak ada biaya tinggi," ujarnya.

Aktivitas manufaktur Indonesia melemah pada April. Dari zona ekspansi, aktivitas manufaktur Tanah Air merosot ke zona kontraksi.

Pada Jumat (2/5/2025), S&P Global melaporkan aktivitas manufaktur yang dicerminkan dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) di Indonesia sebesar 46,7 untuk periode April. Melorot signifikan ketimbang Maret yang mencapai 52,4.

PMI di bawah 50 mengindikasikan aktivitas yang berada di fase kontraksi, bukan ekspansi. Aktivitas manufaktur Ibu Pertiwi mengalami kontraksi untuk kali pertama dalam 5 bulan terakhir.

Tidak hanya itu, aktivitas manufaktur juga berada di posisi terlemah dalam setidaknya 5 tahun terakhir.

“Terjadi kontraksi di sektor manufaktur Indonesia pada April, dengan penurunan tajam baik di sisi produksi maupun volume pemesanan baru. Merespons pelemahan ini, pelaku usaha mengurangi pembelian bahan baku dan tenaga kerja,” ungkap keterangan S&P Global.

Ditambah lagi, pelaku usaha membuka peluang untuk menurunkan inventori dan memilih untuk memanfaatkan stok yang sudah ada.

“Penguatan nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) menaikkan biaya impor. Pelaku usaha mencoba menjaga margin mereka dengan menaikkan harga,” tambah laporan S&P Global.

Produksi turun dengan laju tercepat sejak Agustus 2021. Permintaan memang melemah, baik di pasar domestik maupun internasional. Bahkan, permintaan ekspor turun 2 kali dalam 3 bulan terakhir.

Pelaku usaha merespons penurunan produksi dengan mengurangi tenaga kerja. Meski tidak banyak, tetapi ini menjadi pengurangan pertama dalam 5 bulan terakhir.

Usamah Bhatti, ekonom S&P Global Market Intelligence, menyebut Indonesia mengawali kuartal II-2025 dengan catatan negatif. Sektor manufaktur mengalami kontraksi perdana dalam 5 bulan terakhir, dan mengalami penurunan tajam baik dari sisi penjualan maupun produksi.

“Indeks PMI mengalami penurunan paling tajam sejak Agustus 2021. Dalam jangka pendek, outlook masih mendung karena pelaku usaha memilih untuk mempertahankan kapasitas yang ada, menunjukkan tidak ada ekspansi untuk bulan-bulan ke depan.

“Akan tetapi, outlook untuk tahun ini masih positif. Pelaku usaha masih memperkirakan terjadi kenaikan produksi seiring perbaikan kondisi ekonomi dan daya beli. Namun, kapan waktu pemulihan itu terjadi agak memudar,” papar Bhatti.

(dov/wdh)

No more pages