Adapun power wheeling merupakan skema yang memperbolehkan pihak swasta atau Independent Power Producer (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual secara langsung terhadap masyarakat.
Menurut dia, skema power wheeling bisa berjualan ke masyarakat sehingga bisa memilih langsung vendor dan penyedia tenaga listriknya. Hal itu, kata dia, melanggar UUD 1945.
Sementara PBJT sudah diatur dalam UU Ketenagalistrikan, penyedia listrik seperti IPP memasok listrik ke jaringan, kemudian jaringan melakukan transfer kepada yang membutuhkan.
"Dan yang membutuhkan itu ke wilayah usaha. Bukan ke masyarakat," ucapnya.
Dalam PBJT, masyarakat tidak bebas memilih sumber listrik mereka namun penggunaan jaringan bersama bisa dilakukan.
"Jadi tidak ada masyarakat merdeka beli, misal hari ini ke PLN, besok dari Krakatau Daya, itu gak bisa," imbuhnya.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi XII DPR RI Sugeng Suparwoto mengungkapkan Komisi XII mendukung pengesahan RUU EBET secepatnya.
Bahkan menurut Sugeng, pertimbangan yang menghambat pengesahan RUU EBET adalah Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan power wheeling.
Isu TKDN, kata dia, sudah memenuhi kesepakatan dengan penilaian TKDN proyek EBT masih merujuk pada PP No. 29/ 2018 tentang Pemberdayaan Industri. Sedangkan untuk power wheeling, Sugeng menyebut skema ini bisa ditinggalkan untuk mempercepat pengesahan RUU EBET.
"TKDN sudah. Enggak usah pakai power wheeling enggak apa-apa, akan langsung dituntaskan [RUU EBET]," beber Sugeng.
(mfd/naw)































