“Ya tentu kita melihat bagaimana kegiatan usaha tetap berjalan. Ada kepastian dan juga penerimaan negara kita utamakan,” ucapnya.
Yuliot menyebut kebijakan penyesuaian tarif royalti sektor minerba tersebut akan berlaku setelah peraturan pemerintah diterbitkan.
Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) sebelumnya menilai rencana kenaikan tarif royalti sektor minerba bakal makin menekan industri pertambangan, khususnya nikel, yang selama ini sudah tergencet efek negatif penurunan harga komoditas tersebut.
Sekretaris Umum APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan, tahun ini, penambang nikel sudah dihadapkan pada tantangan kenaikan ongkos produksi akibat mandatori biodiesel B40 untuk sektor industri pertambangan serta kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% dari 12%.
Tidak hanya itu, sektor ini juga tengah waswas dengan penerapan kebijakan wajib retensi 100% devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) selama 12 bulan yang efektif mulai 1 Maret dan diberlakukannya sistem perpajakan yang mengacu pada Global Minimum Tax (GMT).
“Upah minimum juga naik tahun ini. Itu kan sudah menggerus margin perusahaan pertambangan, di mana harga global saat ini belum ada tanda-tanda kehidupan untuk dia mendaki naik. Artinya, [harga nikel] tetap menurun,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (12/3/2025).
“Berarti kan beban perusahaan pertambangan, khususnya nikel, kan makin terjepit. Kemudian, sekarang ditambah dengan [rencana] kenaikan royalti. Bagi kami sih tidak fair, tidak fair banget.”
Nikel diperdagangkan di US$16.493/ton di London Metal Exchange (LME) pada Rabu, terkoreksi 0,35% dari penutupan Jumat pekan lalu. Angka ini jauh dari rekor tertinggi harga jual nikel di atas US$20.000/ton pada kisaran 2022—2023.
Kementerian ESDM akhir pekan lalu mengusulkan kenaikan tarif royalti progresif terhadap nikel dan berbagai produk turunannya.
Usulan tersebut akan termuat dalam rencana revisi Peraturan Pemerintah No. 26/2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PPNBP yang Berlaku pada Kementerian ESDM.
(mfd/wdh)































