Logo Bloomberg Technoz

ICC sebelumnya mengatakan mereka memiliki yurisdiksi di Filipina atas dugaan kejahatan yang dilakukan sebelum negara itu menarik diri sebagai anggota.

Namun, menurut Koalisi Internasional untuk Hak Asasi Manusia di Filipina (ICHRP), para aktivis menyebut penangkapan Duterte sebagai "momen bersejarah" bagi orang-orang yang tewas dalam perang melawan narkoba dan keluarga mereka.

"Jalannya moralitas memang panjang, tetapi hari ini, berbelok ke arah keadilan. Penangkapan Duterte adalah awal dari pertanggungjawaban atas pembunuhan massal yang menandai pemerintahannya yang brutal," kata Ketua ICHRP Peter Murphy.

Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte di Hong Kong pada 9 Maret. (Anthony Kwan/Getty Images via Bloomberg)

Duterte berkunjung ke Hong Kong untuk berkampanye dalam Pemilu sela pada 12 Mei mendatang, di mana ia berencana untuk mencalonkan diri sebagai Wali Kota Davao.

Rekaman yang ditayangkan di televisi lokal menunjukkan dia berjalan keluar dari bandara menggunakan tongkat. Pihak berwenang mengatakan dia dalam kondisi "sehat" dan dirawat oleh dokter pemerintah.

"Apa dosa saya? Saya melakukan segalanya untuk perdamaian dan kehidupan yang damai bagi rakyat Filipina," katanya kepada kerumunan ekspatriat Filipina yang bersorak-sorai sebelum meninggalkan Hong Kong.

Sebuah video yang diunggah oleh putrinya, Veronica Duterte, menunjukkan Duterte ditahan di ruang tunggu di Pangkalan Udara Villamor, Manila. Dalam video itu, ia terdengar mempertanyakan alasan penangkapannya.

“Apa hukumnya dan apa kejahatan yang saya lakukan? Saya dibawa ke sini bukan atas kemauan saya sendiri, melainkan kemauan orang lain. Anda harus bertanggung jawab sekarang atas perampasan kebebasan."

'Perang Lawan Narkoba'

Duterte menjabat sebagai Wali Kota Davao, kota metropolitan yang luas di selatan Filipina, selama 22 tahun dan menjadikannya salah satu kota teraman di negara itu dari kejahatan jalanan.

Ia memanfaatkan reputasi Davao yang menjunjung tinggi perdamaian dan ketertiban, serta menampilkan dirinya sebagai politisi anti-kemapanan yang berbicara keras untuk memenangkan Pemilu 2016 dengan telak.

Dengan retorika yang berapi-api, ia mengerahkan pasukan keamanan untuk menembak mati para tersangka narkoba. Lebih dari 6.000 tersangka ditembak mati oleh polisi atau penyerang tak dikenal selama kampanyenya, tetapi kelompok hak asasi manusia mengatakan jumlahnya mungkin jauh lebih tinggi.

Ilustrasi Narkoba (Envato/sedrik2007)

Laporan PBB sebelumnya menemukan, sebagian besar korban adalah laki-laki muda miskin di perkotaan dan polisi, yang tidak memiliki surat perintah penggeledahan atau penangkapan untuk menggerebek rumah, secara sistematis memaksa para tersangka membuat pernyataan yang memberatkan diri mereka sendiri atau berisiko menghadapi kekerasan yang mematikan.

Para kritikus mengatakan kampanye Duterte menyasar para pengedar narkoba di jalanan dari kalangan masyarakat miskin perkotaan dan gagal menangkap gembong narkoba kelas kakap. Banyak keluarga mengklaim para korban — putra, saudara laki-laki atau suami mereka — berada di tempat dan waktu yang salah.

Investigasi di parlemen menunjukkan adanya "regu pembunuh," pemburu bayaran yang menargetkan para tersangka narkoba. Duterte telah membantah tuduhan tersebut.

"Jangan pertanyakan kebijakan saya karena saya tidak meminta maaf, tidak ada alasan. Saya melakukan apa yang harus saya lakukan. Terlepas apakah Anda percaya atau tidak, saya melakukannya untuk negara saya," kata Duterte dalam investigasi parlemen pada Oktober.

"Saya benci narkoba, jangan salah paham."

ICC pertama kali mencatat dugaan pelanggaran tersebut pada 2016 dan memulai penyelidikannya pada 2021. Investigasi tersebut mencakup kasus-kasus dari November 2011, saat Duterte masih menjabat sebagai Wali Kota Davao, hingga Maret 2019, sebelum Filipina mengundurkan diri dari ICC.

(ros)

No more pages