“Jadi ini juga memberikan discouragement untuk produksi EV secara massal, karena di AS sendiri—sebagai salah satu pasar yang sangat potensial — sepertinya ada perlambatan penggunaan EV, terutama yang didorog oleh sektor publik,” kata Habib.
Pergeseran yang terjadi di tingkat global tersebut turut memengaruhi permintaan nikel untuk bahan baku baterai EV. Indonesia—sebagai produsen nikel terbesar dunia — dinilai akan terdampak oleh situasi tersebut.

Permasalahannya, lanjut Habib, Indonesia juga bukanlah satu-satunya produsen nikel di dunia. Dengan kata lain, persaingan untuk memperebutkan kue permintaan nikel dan produk turunannya akan makin ketat.
“Kalau misalnya yang dijual Indonesia ke pasar adalah [nikel] yang sudah diproses, tetapi ternyata yang dibutuhkan dunia adalah yang masih mentah atau ore, nah itu kan juga artinya kita tidak bisa menjawab permintaan pasar global,” terangnya.
Tak Tergantung EV
Dalam sebuah kesempatan terpisah, PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID) tidak menampik pertumbuhan permintaan produk hilirisasi nikel untuk bahan baku baterai EV masih di bawah ekspektasi. Komoditas mineral andalan RI itu lebih banyak terserap untuk industri properti China.
"Jadi [tahun] kemarin sama tahun ini growth [penjualan] EV sekitar 18%-an. Masih ada pertumbuhan, tetapi itu sebenarnya di bawah proyeksi growth yang mungkin di 22%," ujar Direktur Portofolio dan Pengembangan Usaha MIND ID Dilo Seno Widagdo usai kegiatan MIND ID Commodities Outlook, akhir November.
Menurut Dilo, pertumbuhan EV yang tidak sesuai harapan juga berkaitan dengan kebijakan proteksi dari sejumlah negara. Namun, dia mengingatkan bahwa prospek permintaan komoditas mineral logam—khususnya nikel — tidak hanya tergantung pada pasar EV.
Ada prospek dari industri lain yang membutuhkan baja nirkarat atau stainless steel seperti properti. Apalagi, menurut Dilo, sektor properti di negara besar seperti China dan India masih memiliki geliat, meski belum pesat.
"Untuk komoditas nikel kan enggak harus semuanya ke EV, tetapi juga bisa ke sektor lain seperti properti. Jadi mungkin di sini [permintaan dari industri EV] growth-nya agak berkurang, tetapi growth yang dari sisi properti masih ada lebih besar," tutur Dilo.
Untuk diketahui, gelombang proyek pabrik baterai yang sedang dibangun di seluruh dunia diproyeksi menghasilkan sel baterai jauh lebih banyak dari yang dibutuhkan perekonomian global, BloombergNEF memperingatkan dalam sebuah laporan.

Permintaan sel litium-ion berkembang pesat, seiring dengan produsen mobil yang melakukan elektrifikasi pada armadanya dan perusahaan utilitas memasang baterai berukuran besar untuk menstabilkan jaringan listrik.
Namun, para produsen telah mengumumkan begitu banyak pabrik baru sehingga kapasitasnya akan melebihi permintaan selama sisa dekade ini, menurut BNEF.
Pada akhir 2025, industri baterai global akan mampu memproduksi sel baterai lima kali lebih banyak dari yang dibutuhkan dunia pada tahun tersebut, demikian perkiraan BNEF dalam Electric Vehicle Outlook.
Di sisi lain, penjualan EV diramal meningkat dari 13,9 juta pada 2023 menjadi lebih dari 30 juta pada 2027 dalam skenario transisi ekonomi BloombergNEF.
Namun, dalam empat tahun ke depan, penjualan mobil listrik diproyeksikan tumbuh rata-rata hanya sebesar 21% per tahun, dibandingkan dengan rata-rata 61% antara 2020 dan 2023.
Pangsa EV global dalam penjualan kendaraan penumpang diproyeksikan baru melonjak menjadi 33% pada 2027, dari 17,8% pada 2023.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)