Bloomberg Technoz, Jakarta – Industri smelter nikel pirometalurgi—atau yang berbasis teknologi rotary kiln-electric furnace (RKEF) — di Indonesia dinilai sudah tidak sehat, bahkan rentan berujung pada krisis seperti yang dialami industri smelter tembaga di China.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar menjelaskan persaingan bisnis smelter RKEF di dalam negeri sudah sangat jenuh, lantaran saat periode awal booming komoditas nikel, pembangunan smelter pirometalurgi dilakukan secara jorjoran.
“Saat itu pemerintah tidak membuat perencanaan yang baik dan kebijakan yang ketat. Walhasil, saat ini harga nikel menurun dan smelter yang terbangun telanjur sudah banyak, sehingga menjadi tidak sehat dalam konteks ekosistem industri nikel,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (6/3/2025).

Bisman menilai pemerintah perlu secara tegas melakukan moratorium proyek smelter nikel pirometalurgi atau setidaknya selektif dalam menerbitkan izin smelter.
Dalam hal ini, dia berpendapat hanya proyek smelter yang benar-benar memiliki skala keekonomian dan teknologi terbaik yang sebaiknya diizinkan untuk berlanjut.
“Kemungkinan krisis itu bisa saja terjadi. Saat ini sudah banyak masalah smelter di Indonesia akibat penurunan harga nikel yang cukup tajam, kelebihan kapasitas, serta tidak adanya jaminan pasokan bahan baku [bijih nikel],” terang Bisman.
Harga nikel dunia sekarang merana mendekati level terendah sejak 2020. Nikel diperdagangkan di US$15.901/ton di London Metal Exchange (LME) pada Rabu (5/3/2025), turun 0,51% dari hari sebelumnya.
Tidak hanya itu, produk yang dihasilkan smelter RKEF dinilai terlalu bergantung pada serapan pasar China, sedangkan raksasa Asia Timur itu sedang mengalami perlambatan ekonomi.
“Dengan demikian, smelter-smelter tersebut potensial mengalami krisis jika tidak segera ada strategi yang memadai,” tutur Bisman.
Sekadar catatan, smelter nikel pirometalurgi dengan teknologi RKEF mengolah bijih nikel kadar tinggi atau saprolit untuk menjadi feronikel sebagai bahan baku baja nirkarat.
Jenis smelter nikel lainnya adalah hidrometalurgi dengan teknologi high pressure acid leaching (HPAL) yang mengolah bijih nikel kadar rendah atau limonit menjadi mixed hydroxide precipitate (MHP) sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik.

Tak Moratorium
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum lama ini kembali menegaskan tidak akan memoratorium smelter nikel pirometalurgi, meski berbagai pakar telah mengingatkan bahwa persaingan industri smelter RKEF sudah terlalu ketat.
“Sampai sekarang belum ada [moratorium],” kata Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Tri Winarno ditemui di Kompleks Parlemen, Rabu (26/2/20025).
Tri menyebut pemerintah akan mengoptimalkan produk turunan nikel melalui program hilirisasi. Dengan demikian, pemerintah akan memilah mana smelter yang sudah jenuh dan yang belum jenuh.
Dia menegaskan tujuan awal hilirisasi agar smelter dapat memproduksi barang hingga tingkat lini hilir guna meningkatkan nilai tambah produk. Akan tetapi, hingga kini pelaksanaannya belum optimal.
“Kan sampai sekarang masih belum optimal ini. Harapannya ini ada yang lebih hilir lagi, supaya mungkin efeknya lebih bagus,” ujar Tri.
“Sedang dalam evaluasi lah. [Smelter] yang mana yang harus optimal misalnya mau dioptimalkan untuk [memproduksi bahan baku baterai] EV [electric vehicle/kendaraan listrik]. Misalnya dioptimalkan untuk produk-produk lain, kira-kira gitu.”
Menurut catatan Kementerian ESDM, terdapat 190 proyek smelter nikel di Indonesia; terdiri dari 54 yang sudah beroperasi, 120 sedang tahap konstruksi, dan 16 dalam tahap perencanaan.
Dari 190 smelter tersebut, hanya 8 atau 9 yang memiliki teknologi berbasis hidrometalurgi atau HPAL untuk mengolah limonit menjadi bahan baku baterai, sedangkan sisanya berbasis RKEF.
Kebutuhan bijih nikel, padahal, berada pada level 200.000 ton untuk 54 smelter yang sudah beroperasi. Sementara itu, cadangan nikel Indonesia saat ini diklaim mencapai 5,3 miliar ton.
Dengan asumsi 190 smelter bakal beroperasi dan kebutuhan bijih nikel bakal meningkat tiga kali lipat, Kementerian ESDM memproyeksikan industri nikel bakal selesai 4—5 tahun ke depan bila tidak ada tambahan cadangan.

Adapun, krisis industri smelter dengan gejala serupa sudah dialami oleh China untuk sektor pengolahan tembaga. Akibat jorjoran pembangunan proyek smelter tembaga, China kini menghadapi ancaman penyetopan produksi—bahkan gulung tikar — lantaran fee untuk pemrosesan tembaga di negara tersebut anjlok terlalu dalam.
Gelombang besar investasi smelter baru di China juga telah membuat pabrik-pabrik pengolahan tembaga bersaing ketat dalam menemukan pasokan konsentrat yang cukup untuk mengisi tungku-tungku atau furnace mereka.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)