Bloomberg Technoz, Jakarta - Kasus dugaan pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax oleh PT Pertamina Patra Niaga (PPN) telah memicu perhatian luas dari masyarakat dan berbagai pihak beberapa waktu belakangan ini.
Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkapkan dalam periode 2018—2023, terjadi praktik pengoplosan Pertalite (RON 90) menjadi Pertamax (RON 92) di fasilitas penyimpanan atau depo milik Pertamina.
Pengungkapan Kasus dan Penetapan Tersangka
Pada Senin, (24/2/2025) malam, Kejagung resmi menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero), subholding, dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) periode 2018—2023.
Empat di antaranya berasal dari jajaran subholding Pertamina, yakni; Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS); Direktur Feedstock and Product Optimalization PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin (SDS); Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi (YF); dan VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Agus Purwono (AP).
Sementara itu, tiga lainnya dari pihak broker yakni Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR); Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim Dimas Werhaspati (DW); dan Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadan Joede (GRJ).
Selang dua hari kemudian, Kejagung kembali menetapkan dua tersangka baru pada Rabu (26/2/2025) malam, yakni Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga Maya Kusmaya (MK) dan VP trading operation PT Pertamina Patra Niaga Edward Corne (EC).

Dalam kasus tersebut, Kejagung mengungkapkan, BBM RON 92 dibeli oleh Pertamina Patra Niaga dari PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) dengan cara mengoplos (blending) atau membeli RON 90 (setara Pertalite) kemudian dicampur di fasilitas penyimpanan (storage) BBM atau depo untuk dijadikan Pertamax.
"Pada saat telah dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, diperoleh fakta adanya mark up kontrak shipping atau pengiriman yang dilakukan oleh tersangka YF [Yoki Firnandi] selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping," papar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar dalam keterangannya.
"Negara mengeluarkan fee sebesar 13%—15% secara melawan hukum, sehingga tersangka MKAR [broker] mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut."
Adapun, dampak adanya perbuatan melawan hukum tersebut mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp193,7 triliun yang bersumber dari komponen sebagai berikut:
- Kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp35 triliun.
- Kerugian impor minyak mentah melalui broker sekitar Rp2,7 triliun.
- Kerugian impor BBM melalui broker sekitar Rp9 triliun.
- Kerugian pemberian kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun.
- Kerugian pemberian subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun.
Harli mengatakan para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 UU No. 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Reaksi dan Tuntutan Publik
Pengungkapan kasus ini memicu reaksi keras dari masyarakat. Banyak yang menuntut transparansi dan akuntabilitas dari Pertamina serta pihak terkait lainnya.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menyatakan konsumen berhak mendapatkan ganti rugi apabila terbukti mendapatkan produk pertamina yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang diatur pemerintah.
Ketua BPKN Mufti Mubarok mengatakan, apabila dugaan oplosan ini benar terbukti, hak konsumen sesuai UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) rawan terpinggirkan dan tercederai lantaran hak untuk memilih barang dan/atau jasa tidak sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
"Dalam kasus ini, konsumen dijanjikan RON 92 Pertamax dengan harga yang lebih mahal, malah [diduga] mendapatkan RON 90 Pertalite yang lebih rendah. Selain itu juga merampas hak konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa,” ujarnya melalui keterangan resmi, Rabu (26/2/2025).
"Terkait dengan kerugian yang dialami konsumen ini, berdasarkan UUPK, konsumen/masyarakat berhak untuk menggugat dan meminta ganti rugi kepada Pertamina melalui mekanisme gugatan yang telah diatur dalam perundang-undangan, salah satunya dapat secara bersama-sama [class action] karena mengalami kerugian yang sama."
Lebih lanjut, BPKN mendesak pihak berwenang untuk mengusut tuntas kasus tersebut, serta meminta Pertamina bersikap transparan dalam memberikan informasi yang jelas dan jujur kepada konsumen mengenai kualitas produk bahan bakar yang dijual.
Tanggapan Pertamina
Menanggapi tuduhan tersebut, Pertamina menegaskan tidak melakukan pengoplosan BBM Pertamax dan memastikan kualitas Pertamax sudah sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan pemerintah yakni RON 92.
"Produk yang masuk ke terminal BBM Pertamina merupakan produk jadi yang sesuai dengan RON masing-masing, Pertalite memiliki RON 90 dan Pertamax memiliki RON 92. Spesifikasi yang disalurkan ke masyarakat dari awal penerimaan produk di terminal Pertamina telah sesuai dengan ketentuan pemerintah," ujar Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Heppy Wulansari, Selasa (25/2/2025)
Heppy melanjutkan, treatment yang dilakukan di terminal utama BBM adalah proses injeksi warna (dyes) sebagai pembeda produk agar mudah dikenali masyarakat. Selain itu juga ada injeksi additive yang berfungsi untuk meningkatkan performa produk Pertamax.
"Jadi bukan pengoplosan atau mengubah RON. Masyarakat tidak perlu khawatir dengan kualitas Pertamax," jelas Heppy.

Dampak pada Konsumen
Akibat kasus ini, mulai terlihat indikasi konsumsi masyarakat yang beralih ke penyedia BBM swasta lain. Hal ini nampak terlihat dari beberapa unggahan warganet.
Seperti di akun media sosial Instagram @feed_sidoarjo terlihat seorang warganet mengunggah video yang memperlihatkan antrean panjang di salah satu SPBU Swasta di wilayah Sidoarjo, Jawa Timur.
"Antrean panjang di salah satu SPBU Shell Sidoarjo malam ini! Banyak yang rela mengantri malam-malam ada apa ya rek," tulis akun tersebut, dikutip Senin (3/3/2025).
Tak hanya itu, akun @AboutTNG di X juga menjelaskan terjadi antrian panjang di beberapa SPBU Swasta di jalan Otista dan Karawaci wilayah Tangerang, Banten.
"Sejak kasus pengoplosan Pertalite jadi Pertamax, warga banyak yang meninggalkan SPBU Pertamina dan beralih ke SPBU swasta. Kalau kamu gimana?" jelas caption akun tersebut.
(prc/spt)