Kenaikan angka kesuburan ini terjadi setelah angka pernikahan meningkat pada 2023 untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade, dipimpin oleh mereka yang lahir pada awal 1990-an, periode ketika negara tersebut mengalami lonjakan angka kelahiran.
Prospek angka kesuburan tetap tidak pasti karena semakin sedikit orang yang mungkin ingin menikah. Ketegangan yang berlanjut antara pemerintah dan dokter terkait rencana peningkatan jumlah mahasiswa kedokteran menjadi perhatian calon ibu, sementara gejolak politik domestik dan kebijakan perdagangan proteksionis di luar negeri menambah ketidakpastian terhadap prospek ekonomi.
Negara ini tengah mengalami krisis kepemimpinan setelah Presiden Yoon Suk Yeol dimakzulkan pada Desember akibat deklarasi darurat militer singkatnya, yang memperburuk prospek langkah kebijakan yang efektif, termasuk rencana di bawah pemerintahan Yoon untuk meluncurkan kementerian yang didedikasikan untuk meningkatkan angka kesuburan.
Tahun ini, ekonomi juga diperkirakan akan kehilangan momentum dari tahun sebelumnya seiring melambatnya pertumbuhan ekspor akibat berbagai risiko, termasuk rencana tarif Presiden AS Donald Trump.
Kekurangan bayi mempercepat penuaan populasi Korea Selatan. Dinamika ini, pada gilirannya, menimbulkan kekhawatiran terkait meningkatnya beban fiskal untuk dana pensiun publik dan layanan kesehatan. Dana Pensiun Nasional Korea Selatan, yang merupakan terbesar ketiga di dunia, diperkirakan akan habis pada pertengahan 2050-an.
Seoul mencatat angka kesuburan terendah di antara kota-kota besar, yaitu 0,58. Ibu kota ini menampung sekitar seperlima dari total populasi negara yang berjumlah 51 juta jiwa. Busan, kota pelabuhan di tenggara, berada di posisi kedua terendah dengan angka 0,68. Sejong, yang menjadi pusat pemerintahan, melaporkan angka kesuburan tertinggi di 1,03.
Beberapa faktor disalahkan atas keengganan masyarakat Korea Selatan untuk memiliki anak, termasuk tingginya biaya hidup dan kurangnya perumahan terjangkau. Para orang tua juga khawatir akan konsekuensi yang tidak menguntungkan setelah kembali ke kantor usai cuti mengasuh anak. Selain itu, mereka menghadapi biaya pendidikan yang secara proporsional termasuk yang tertinggi di dunia maju.
Menyusutnya populasi juga menjadi perhatian bagi bank sentral. Produsen chip, pembuat mobil, dan perusahaan manufaktur lainnya mungkin akan mempercepat relokasi produksi mereka ke luar negeri seiring berkurangnya tenaga kerja, yang dapat memberikan tekanan pada mata uang lokal. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi yang melambat dapat mendorong otoritas untuk meningkatkan dukungan moneter dan fiskal, yang pada akhirnya dapat memperburuk gelembung aset.
(bbn)
































