“Mereka tugaskan adjuster, kita harus nego dahulu sama mereka [klaim asuransi]. Tadi dikatakan tidak ada kerugian negara di sini. Nah, kami ingin tahu juga asuransi menilai berapa ini karena tidak ada laporan di sini.”
Fasha menggarisbawahi agar kewajiban hilirisasi mineral tembaga tidak dijadikan momok bagi perusahaan berbasis di Amerika Serikat (AS) yang sudah puluhan tahun berproduksi di Tanah Air itu.
“Dahulu Freeport ini yang punya kan benderanya bukan merah-putih. Sekarang ini kan benderanya sudah merah-putih. Jadi ada hal-hal yang lebih menguntungkan negara kita lah, jangan sampai 'ada negara di dalam suatu negara',” jelas Fasha.
Kurva S
Di sisi lain, anggota Komisi XII DPR Eddy Soeparno mengungkapkan dahulu DPR—mitra Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan sektor energi yang waktu itu masih berada di Komisi VII — pernah membahas persoalan relaksasi ekspor konsentrat tembaga sebelum UU Minerba direvisi menjadi No. 3/2020 dalam masa transisi.
Freeport, kata Eddy, saat itu tetap diberikan keringanan untuk mengekspor maksimal sampai dengan 31 Desember 2024 lantaran pembangunan smelter katoda tembaganya masih berproses.
Akan tetapi, perseroan harus memenuhi Kurva S dalam pembangunan smelter. Ketika Kurva S terpenuhi, pemerintah akan memberikan pertimbangan relaksasi ekspor berdasarkan progres pembangunan smelter.
Eddy menjelaskan Kurva S merupakan progres smelter setiap bulan yang harus dipenuhi perseroan dalam bentuk persentase pencapaian. Progres tersebut dijadikan acuan untuk mendukung perseroan untuk melakukan ekspor. Perusahaan wajib memenuhi progres tersebut setiap bulannya.
“Saya kira ke depannya acuan Kurva S harus tetap dilaksanakan sebagai bukti komitmen dari Amman Mineral, Freeport, dan pelaku usaha lainnya untuk tetap melaksanakan pembangunan smelter. Kalau memang ada pertimbangan untuk memberikan keberlanjutan untuk ekspor, saya rasa tolok ukurnya Kurva S tersebut."
Eddy juga berpandangan bahwa peristiwa kebakaran smelter Freeport perlu dievaluasi secara mendalam karena menyangkut persoalan pendapatan negara.
“Jangan sampai mengorbankan pendapatan negara, tetapi dengan dengan catatan Kurva S-nya harus jelas. Jangan sampai nanti ada hambatan terus kita mempertimbangkan memberikan relaksasi, tetapi teman-teman [perusahaan] tidak mengikuti progres yang disepakati komitmennya bersama kami,” jelas Eddy.
Bantah Tudingan
Dalam kesempatan yang sama, Presiden Direktur Freeport Tony membantah tudingan DPR ihwal adanya unsur kesengajaan dalam kebakaran smelter Manyar.
Tony menjelaskan penyebab kebakaran pabrik tersebut adalah adanya aliran oksigen yang berlebihan. Oksigen tersebut lalu mengalir ke satu panel listrik yang memang kebetulan terjadi kebocoran.
"Kemudian menimbulkan panas, yang akhirnya panas itu menyambut dan akhirnya menjadi terbakar, kemudian terjadi ledakan," jelas Tony dalam rapat di Komisi XII.
Dia mengeklaim keterangan terkait dengan penyebab kebakaran itu didapatkan dari hasil audit internal dan pihak adjuster asuransi. Selain itu, alasan tersebut juga sesuai dengan temuan Bareskrim Polri.
Untuk itu, Tony mengaskan dalam insiden itu tidak ada unsur kesengajaan seperti yang ditudingkan berbagai pihak, termasuk beberapa anggota Komisi XII DPR RI.
"Jadi kalau mau [sengaja] dibakar, tidak ada di perusahaan kami atau di masyarakat Gresik atau siapapun yang punya kepentingan supaya itu terbakar. Tidak ada untungnya juga kalau itu terbakar," ucap Tony.
Tidak hanya itu, Tony juga membantah tudingan bahwa Freeport sengaja membakar smelter agar mendapat perpanjangan izin ekspor konsentrat tembaga. Dia menuturkan perseroan ingin memperpanjang ekspor karena fasilitas smelter katodanya belum bisa beroperasi maksimal.
Selain itu, konsentrat tembaga yang menumpuk di gudang Freeport di Papua tidak bisa diolah di dalam negeri. Sementara itu, pasar bagi di Indonesia juga masih minim. Bahkan, dia mengaku lebih untung menjual konsentrat ke dalam negeri karena harganya yang sama dengan ekspor.
"Jadi dengan kata lain, modusnya atau motifnya untuk kemudian kami bakar sendiri [smelter] supaya kami boleh ekspor, tidak ada untungnya kami ekspor. Kalau di dalam negeri ada smelter-nya lebih bagus diproses di dalam negeri. Lebih murah, lebih cepat, dan lebih baik bagi bangsa ini," jelas Tony.
Sekadar catatan, Freeport menargetkan smelter katoda tembaganya di Manyar, Gresik, Jawa Timur dapat kembali berproduksi pada pekan keempat Juni 2025, setelah perbaikan selesai pada pekan ketiga bulan yang sama.
Smelter tersebut sebelumnya mengalami kebakaran pada fasilitas common gas cleaning plant (CGCP) pada 14 Oktober 2024, serta mengakibatkan kerusakan parah di area west electro-static precipitation (WESP) vessels, ducting, valves, instalasi kelistrikan, dan instrumentasi.
Perusahaan menyebut dari 3.500 item yang terdampak insiden kebakaran tersebut, sebanyak 30% rusak dan 70% dapat diperbaiki atau diganti kembali.
Estimasi biaya kerusakan sejauh ini bernilai sekitar US$130 juta yang akan ditutupi dari asuransi. Adapun, proses pembongkaran fasilitas yang terdampak insiden tersebut diklaim telah selesai. Uji coba commissioning fasilitas pengolahan tersebut akan dimulai pada Maret.
Pembangunan smelter Freeport di Gresik sampai dengan Desember 2024 menelan biaya US$4,2 miliar. Pabrik tersebut memiliki rancangan kapasitas untuk mengolah 1,7 juta ton konsentrat tembaga per tahun dan logam mulia 6.000 ton per tahun.
(wdh)

































