“Belum, belum ada angkanya. Makanya mesti hadap beliau tapi udah dikasih waktunya nanti aku sama Bu Ani [Menkeu Sri Mulyani],” ucap Budi.
Lebih lanjut, Budi juga menegaskan bahwa potensi kenaikan tarif BPJS Kesehatan tersebut tidak berkaitan dengan akan berlakunya sistem Rawat Inap Standar (KRIS) yang akan menggantikan sistem kelas di BPJS Kesehatan paling lambat 30 Juni 2025.
“Enggak enggak, gaada hubungannya sama KRIS,” ujar dia.
Pada tahun 2023, BPJS Kesehatan mencatatkan pemasukan iuran sebesar Rp 149,61 triliun, namun kewajiban pembayaran klaim kesehatan ke rumah sakit dan klinik mencapai Rp 158,85 triliun.
Selisih negatif ini terus terjadi hingga tahun 2024, di mana hingga bulan Oktober, total penerimaan iuran BPJS Kesehatan hanya mencapai Rp 133,45 triliun dengan pengeluaran klaim mencapai Rp 146,28 triliun. Dengan rasio beban mencapai 109,62%, situasi ini menciptakan ketidakseimbangan keuangan yang memerlukan perhatian.
BPJS Kesehatan mengandalkan aset netto atau nilai total aset setelah dikurangi kewajiban untuk menutup defisit ini. Aset netto BPJS Kesehatan sebagian besar diperoleh dari surplus penerimaan iuran pada tahun 2020 hingga 2022. Dalam tiga tahun tersebut, BPJS Kesehatan memperoleh lebih dari Rp 117,47 triliun.
Namun, dengan adanya defisit yang semakin besar, aset netto diperkirakan akan mencapai titik negatif pada November 2025, dan jika tidak ada perubahan kebijakan, potensi gagal bayar akan terjadi pada Juni 2026.
(azr/frg)




























