Bloomberg Technoz, Jakarta - Para investor asing terus melanjutkan aksi jual Surat Berharga Negara (SBN) terbitan Pemerintah RI, dalam enam hari perdagangan tanpa putus.
Aksi jual investor asing dimulai sejak hari ketika Bank Indonesia secara mengejutkan memangkas bunga acuan, BI Rate, di luar konsensus pasar, menjadi 5,75%, belum berhenti hingga perdagangan kemarin.
Total nilai penjualan asing dalam enam hari perdagangan yaitu sejak 15-22 Januari, berdasarkan data Kementerian Keuangan RI, yang dikompilasi oleh Divisi Riset Bloomberg Tecnoz, mencapai Rp10,3 triliun. Itu menjadi nilai penjualan terbesar dalam lima hari perdagangan sejak akhir September 2023 silam ketika asing melepas Rp13,25 triliun dalam sepekan.
Kini, total kepemilikan asing di SBN berada di posisi Rp866,81 triliun per 22 Januari, terendah dalam empat bulan terakhir atau sejak 19 September 2024.
Hengkangnya investor asing dari pasar SBN kemungkinan dipengaruhi dua hal. Pertama, faktor Trump. Keterpilihan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) ke-47 telah memicu fenomena strong dollar yang telah melantakkan mata uang yang jadi lawannya, termasuk rupiah.
Nilai tukar yang melemah akan membuat pembayaran utang luar negeri jadi lebih mahal dan pada akhirnya membebani keuangan negara.

Rupiah telah merosot nilainya hingga 7% sejak Trump terpilih dalam Pemilu 5 November lalu, menjadikannya sebagai mata uang Asia dengan pelemahan kedua terdalam di kawasan setelah won Korsel yang juga terbebani konflik politik domestik.
Faktor rupiah itu membuat aset-aset domestik termasuk SBN jadi kurang menarik. Lebih-lebih, tingkat imbal hasil Treasury, surat utang AS, masih bertahan cukup tinggi di atas 4,5%.
Namun, bukan hanya SBN yang tertekan. Hampir semua obligasi di kawasan Asia dengan peringkat investasi (investment grade) telah tertekan harganya sejak Trump kembali ke Gedung Putih. Rata-rata imbal hasil obligasi investment grade di kawasan Asia Tenggara tercatat naik lebih dari 21 basis poin sejak awal November lalu.
Kenaikan itu lebih besar dibandingkan kenaikan yield obligasi di kawasan Asia di luar Jepang, sebsar 18 basis poin untuk surat utang berperingkat sama.
Kebijakan Trump yang bervisi "America's First' dan cenderung memperkuat proteksionisme akan berdampak pada inflasi di negeri itu. Pada akhirnya, ada ancaman terhadap potensi pelonggaran moneter di AS. Bunga acuan yang bertahan tinggi membuat imbal hasil investasi di Negeri Paman Sam turut melejit.
Yield Treasury yang tinggi memantik arus keluar modal global dari emerging market, kembali ke pasar AS. Otoritas di emerging market akan dipaksa untuk mengerek tingkat imbal hasil agar investor masih mau membeli surat utang. Itu berarti, tren bunga pembiayaan ke depan masih akan mahal.
Kedua, prospek bunga acuan dan selisih imbal hasil. Keputusan mengejutkan Bank Indonesia memangkas bunga acuan BI rate pekan lalu, ditambah penegasan terkait perubahan stance kebijakan menjadi lebih pro pertumbuhan, membuat prospek ke depan jadi agak kabur. Beberapa analis bahkan menilai, potensi kenaikan BI rate justru semakin besar dalam jangka menengah.
"Mengambil kebijakan moneter longgar di tengah volatilitas pasar yang meningkat, akan menyebabkan defisit neraca pembayaran lebih besar. Itu bisa membuat rupiah melemah dan suku bunga lebih tinggi dalam jangka menengah," kata Head of Research Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro.
Di pasar kini mengemuka spekulasi bahwa pertahanan bank sentral di Asia dalam mempertahankan mata uang dari terjangan the greenback, termasuk BI melalui penurunan BI rate tak terduga, mulai melemah seiring dugaan cadangan devisa terkuras makin banyak dalam beberapa bulan terakhir.
Namun, sinyal terbaru yang ditebar Gubernur BI Perry Warjiyo tentang peluang penurunan lebih lanjut BI rate, menambah sederet indikasi yang mendorong investor berhitung ulang. Bila BI rate dipangkas lagi ketika volatilitas masih tajam di pasar global hingga mengerek kembali tingkat imbal hasil Treasury, arus keluar modal asing bisa makin besar akibat penyempitan yield spread dengan SBN.
Saat ini, selisih imbal hasil RI dengan AS menyempit lagi ke 244 basis poin, setelah sempat melebar jadi 250 basis poin beberapa waktu lalu.
Tambahan Pertahanan
Dalam sebuah acara di Kantor Pusat Bank Indonesia, Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan, bank sentral akan terus mencermati ruang penurunan suku bunga dengan melihat perkembangan berdasarkan data-data termutakhir yang saling terkait.

"Kami terus mencermati ruang gerak bagaimana nanti bisa penurunan suku bunga, tentu saja dengan melihat dinamika data dependen yang ada," kata Perry, Rabu kemarin.
Dalam kesempatan itu, Perry mengulangi lagi alasan di balik keputusan mengejutkan penurunan BI rate. "RDG [Rapat Dewan Gubernur] beberapa waktu lalu kami turunkan suku bunga 25 basis poin menjadi 5,75% karena kami yakin inflasi rendah dan kami perlu ikut mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Perry.
Kepercayaan diri BI mengambil kebijakan yang dikritik keras oleh pasar hingga memicu banyak spekulasi termasuk dugaan adanya tekanan politik, kemungkinan juga dilatarbelakangi keyakinan bank sentral akan kondisi fundamental makroekonomi. Di antaranya, keputusan Menteri Keuangan mengerem belanja dengan membatalkan pengucuran Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus dengan nilai sekitar Rp140 triliun-Rp150 triliun untuk mempertahankan kehati-hatian fiskal.
Selain itu, meski nilai surplus dagang pada Desember mengecil, sejatinya pada kuartal IV-2024 Indonesia mencatat kenaikan nilai surplus dagang sebesar US$ 9,09 miliar dari sebesar US$ 6,51 miliar pada kuartal sebelumnya.
"Perkembangan itu menaikkan probabilitas defisit transaksi berjalan 2024 bertahan di kisaran 0,6%-0,7% dari PDB. Faktanya, pemangkasan BI rate akan membawa defisit transaksi berjalan RI terkendali di kisaran 0,8%-1% dari PDB pada tahun ini di tengah pelemahan rupiah yang akan menaikkan pendapatan ekspor," kata Macro Strategist Mega Capital Lionel Priyadi.
Dukungan terbaru adalah dari kebijakan repatriasi Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang mewajibkan penempatan 100% devisa di dalam negeri selama 12 bulan, mulai 1 Maret nanti.
Di tengah tentangan para eksportir yang memunculkan harapan akan adanya kompensasi insentif, kebijakan itu memberikan sentimen positif bagi rupiah yang menguat dalam empat hari perdagangan terakhir tanpa putus dan kini bergerak di kisaran Rp16.273/US$ pada pukul 10:47 WIB.
Adapun di pasar surat utang, mayoritas tenor bergerak naik harganya terindikasi dari penurunan yield terutama untuk tenor lebih panjang.
Yield 10Y kini makin turun di 7,08%, bersama yield 15Y dan 30Y masing-masing di 7,21%. Namun, tenor pendek dan menengah masing-masing masih naik imbal hasilnya di 6,88% dan 6,89%.
-- dengan bantuan laporan Dovana Hasiana.
(rui/aji)