“Saya yakin negara lain akan merasa gimana-gimana, karena kita sekarang orientasinya harus memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kalau kita belum cukup, kami belum mengizinkan ekspor. Kalau kebutuhan dalam negeri sudah cukup, baru kita akan melakukan ekspor.”
Untuk diketahui, saat ini dunia tengah bersiap menghadapi perebutan pasokan gas alam besar-besaran, sehingga memperpanjang penderitaan tagihan yang lebih tinggi bagi konsumen dan pabrik di Eropa yang haus energi dan menempatkan negara-negara berkembang yang lebih miskin dari Asia hingga Amerika Selatan pada risiko tidak mampu lagi bersaing di pasar.
Untuk pertama kalinya sejak krisis energi dipicu oleh perang Rusia di Ukraina, Eropa berisiko gagal memenuhi target penyimpanan energinya untuk musim dingin mendatang, menyiapkan panggung untuk satu perebutan global terhadap pasokan sebelum kapasitas LNG baru mulai meredakan situasi tahun depan.
Pilihan pasokan gas di dunia telah menyusut sejak awal tahun ini, ketika pengiriman pipa Rusia melalui Ukraina dihentikan per 1 Januari 2025 setelah berakhirnya perjanjian transportasi.
Sementara itu, BMI—lengan riset Fitch Solutions — sebelumnya memprediksi Indonesia siap menjadi raksasa produsen LNG di Asia Tenggara, seiring dengan adannya potensi tambahan 40 miliar meter kubik atau billion cubic meter (bcm) sumber daya hingga 2030.
Indonesia dinilai kaya akan proyek gas greenfield yang akan mengerek pasokan gas baku untuk produksi LNG sepanjang 2024—2030.
“Kami memperkirakan sekitar 40 bcm gas alam tambahan akan diproduksi dari proyek-proyek mendatang ini, yang sebagian besar ditujukan untuk memasok gas baku ke pabrik-pabrik LNG yang baru dan yang sudah ada,” papar tim peneliti BMI dalam laporan yang dilansir medio Desember.
Proyek gas enhanced gas recovery (EGR) Ubadari adalah yang paling signifikan di antara proyek-proyek greenfield ini dan diestimasikan mendukung produksi LNG dari proyek Tangguh.
(wdh)































