Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Keputusan tidak terduga dari Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga acuan (BI Rate) menjadi 5,75% menuai reaksi, baik dukungan hingga kritik, dari kalangan ekonom, pelaku pasar hingga pemerintah. 

Dari sisi finansial, mayoritas ekonom menilai langkah BI terburu-buru dan kacau yang memberikan risiko terhadap pelemahan rupiah di tengah ketidakpastian pasar yang masih sangat tinggi karena perubahan geopolitik di Amerika Serikat (AS).

Terlebih, Indonesia akan segera memasuki periode puncak permintaan dolar AS musiman yang akan memberi tambahan beban pada rupiah.

Di lain sisi, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menilai keputusan itu merupakan stimulus bagi konsumsi dan investasi.

"Kementerian Keuangan menyambut baik keputusan BI menurunkan suku bunga acuan. Kebijakan ini sinergis dengan upaya menjaga stabilitas makroekonomi dan memperkuat momentum pertumbuhan di tengah ketidakpastian global," ujar Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Deni Surjantoro. 

Rupiah Bisa Tembus Rp17.000/US$

Analisis terbaru dari para ekonom Maybank menyebutkan rupiah berpotensi makin melemah ke Rp16.800/US$ pada kuartal I-2025 dan menembus Rp17.000/US$ pada kuartal II-2025 sebelum akhirnya naik kembali ke Rp16.500/US$ pada kuartal III dan IV tahun ini. 

"Pasar kemungkinan akan tetap cemas jelang pelantikan Trump dan menunggu pengumuman kebijakan pertama setelah menjabat. Itu bisa menempatkan rupiah tetap dalam tekanan," kata analis Maybank, termasuk Saktiandi Supaat dalam catatan yang dirilis setelah putusan BI Rate, dilansir dari Bloomberg.

Namun, Supaat menggarisbawahi, bila kebijakan Trump ternyata tidak separah yang ditakutkan, ada potensi pembalikan arah bagi rupiah dan mata uang Asia lain, seiring dengan posisi beli dolar AS yang sudah besar.

Keputusan BI memangkas bunga acuan, BI Rate, tanpa petunjuk sama sekali sebelumnya hingga mengagetkan pelaku pasar, di kala rupiah masih dalam ancaman pelemahan akibat fenomena strong dollar, memantik spekulasi akan adanya unsur politik di baliknya.

Pengumuman Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia. (Bloomberg Technoz/Dovana Hasiana)

"Keputusan mengejutkan BI memangkas BI Rate kemungkinan mendapatkan tekanan politik dari Presiden Prabowo Subianto dengan tujuan agar konsumsi [domestik] tetap bertahan," kata Ezaridho Ibnutama, Chief Economist NH Korindo Sekuritas Indonesia, dalam catatan yang dilansir setelah keputusan bunga acuan.

Stimulus Ekonomi

Kemenkeu menilai penurunan BI Rate dapat menurunkan beban biaya (cost of fund), sehingga mendorong konsumsi rumah tangga dan investasi sektor swasta.

Deni mengatakan penurunan BI Rate bisa mendorong penguatan kinerja sektor riil. Menurut Kemenkeu, suku bunga yang lebih rendah akan meningkatkan akses pembiayaan bagi dunia usaha, khususnya usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), sehingga mendukung aktivitas ekonomi.

Terakhir, Deni mengatakan, beban biaya yang lebih rendah membuat pemerintah juga memiliki ruang lebih untuk memprioritaskan belanja produktif. 

"Keputusan ini juga mencerminkan sinergi kebijakan moneter dan fiskal yang terus diperkuat untuk memastikan pemulihan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan," ujarnya.

Tugas Pemerintah Guyur Insentif Fiskal 

Ekonom menilai penurunan suku bunga acuan atau BI Rate ke level 5,75% pada RDG Januari 2025 harus diiringi dengan kebijakan fiskal yang mendukung. Hal ini dibutuhkan agar berdampak lebih optimal pada target pertumbuhan ekonomi 5,2% sepanjang 2025.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rizal Taufikurahman mengatakan kebijakan fiskal, yang merupakan kewenangan dari pemerintah, bisa dilakukan melalui percepatan belanja pemerintah dan insentif untuk sektor usaha.

"Penurunan suku bunga dapat menjadi stimulus efektif untuk sektor riil, terutama dalam kondisi inflasi yang terkendali. Namun, kebijakan moneter ini harus diiringi oleh kebijakan fiskal yang mendukung," ujar Rizal kepada Bloomberg Technoz, Kamis (16/1/2025).

Secara teori, kata Rizal, kebijakan penurunan suku bunga dapat meningkatkan aktivitas ekonomi melalui tiga mekanisme utama, yaitu konsumsi rumah tangga, investasi, dan nilai tukar. Dengan suku bunga yang lebih rendah, biaya pinjaman menjadi lebih murah, sehingga mendorong konsumsi dan investasi.

Namun, efektivitasnya bergantung pada kepercayaan konsumen dan prospek bisnis yang masih dipengaruhi oleh dinamika global dan domestik.

Rizal memproyeksi konsumsi rumah tangga tumbuh stabil dengan dukungan dari peningkatan daya beli dan keyakinan konsumen. Sehingga, pertumbuhan ekonomi juga diproyeksikan terjaga pada triwulan I-2025.

Meski demikian, tantangan dalam menjaga stabilitas inflasi dan nilai tukar rupiah tetap menjadi perhatian utama, terutama mengingat potensi pelemahan nilai tukar akibat penurunan suku bunga.

(dov/ros)

No more pages