Animo terbesar peserta lelang masih di tenor 12 bulan yang selama ini selalu menjadi favorit utama investor.
Dalam lelang hari ini, meski animo yang masuk cukup besar, BI akhirnya tetap menjual sebanyak Rp15 triliun, tidak berbeda dengan lelang sebelumnya.
Penurunan tingkat bunga SRBI dalam lelang hari ini juga segaris dengan pernyataan Gubernur BI Perry Warjiyo pada Rabu lalu yang menyatakan kebijakan operasi moneter akan lebih ekspansif.
Menurut Ekonom CIMB Bank Bhd Joel Cheung dan Lim Yee Ping, dilansir dari Bloomberg News, penurunan bunga SRBI dan dan nilai emisi, mungkin bisa membantu transmisi kebijakan moneter dalam menurunkan biaya dana dan memperbaiki kondisi likuiditas di perekonomian domestik.
Dalam taklimat media Rabu lalu, Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan secara lugas, keputusan penurunan BI rate adalah karena saat ini merupakan waktu yang tepat bagi bank sentral untuk melakukan pelonggaran.
"Ini saatnya menurunkan suku bunga untuk menciptakan kisah pertumbuhan yang lebih baik," kata Perry.
Akan halnya dengan ancaman yang masih dihadapi oleh rupiah yang dinilai lebih karena faktor eksternal, BI memilih akan melanjutkan strategi intervensi di tiga titik yaitu spot, pasar SBN dan NDF domestik, serta mengoptimalkan instrumen penarik hot money terutama SRBI.
Penggunaan SRBI akan kian dimasifkan di tengah minat asing yang terlihat makin memudar. Dana asing tercatat keluar dari SRBI selama kuartal IV-2024 telah mencapai Rp38 triliun. Padahal selama periode itu, tingkat bunga SRBI terus dikerek tinggi hingga 30 basis poin.
Mengandalkan SRBI sebagai penarik dana asing agar tetap bertahan di dalam negeri, bukan tanpa risiko maupun biaya. Bunga SRBI yang sangat tinggi, membuat dana di pasar tersedot kesana. Menjadikan likuiditas tetap ketat, serta membuat biaya utang Pemerintah RI mahal.
"SRBI berkontribusi mendatarkan [flattening] kurva imbal hasil dan memicu crowding out likuiditas di sistem domestik. Bagaimanapun, SRBI merupakan kebijakan yang sifatnya kontraktif sama halnya pengurasan likuiditas secara permanen oleh Bank Indonesia. Itu tidak sama dengan surat berharga lain di mana dana yang diserap akan disalurkan lagi ke perekonomian baik dalam bentuk surat utang pemerintah, ataupun belanja modal korporasi," kata Head of Research Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro.
Pada penutupan perdagangan pekan ini, rupiah akhirnya ditutup dengan membukukan pelemahan mingguan sebesar 1,1% di level Rp16.365/US$.
Kinerja mingguan itu menjadikan rupiah sebagai valuta terburuk di Asia pekan ini.
(rui/aji)