Menyitir dokumen Buku II Nota Keuangan Rancangan APBN (RAPBN) Tahun Anggaran 2024, pemerintah menilai fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS secara langsung akan memengaruhi komponen APBN yang basis perhitungannya menggunakan mata uang asing, terutama dolar AS.
Di sisi pendapatan negara, fluktuasi nilai tukar rupiah secara langsung berpengaruh pada penerimaan yang terkait dengan aktivitas perdagangan internasional, seperti PPh Pasal 22 impor, PPN dan PPBM impor, bea masuk, dan bea keluar. Selain itu, perubahan nilai tukar rupiah juga akan berdampak pada penerimaan PPh migas dan PNBP SDA migas.
Pada sisi belanja negara, perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan berpengaruh terhadap pembayaran bunga utang, subsidi energi, serta DBH migas akibat perubahan PNBP SDA migas.
Pada sisi pembiayaan anggaran, fluktuasi nilai tukar rupiah akan berdampak pada penarikan pinjaman luar negeri, baik pinjaman tunai maupun pinjaman kegiatan, penerusan pinjaman/Subsidiary Loan Agreement (SLA), dan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri.
Dalam simulasinya, pemerintah menilai pelemahan rupiah sebesar Rp100/US$ akan meningkatkan pendapatan negara Rp4 triliun. Namun, pelemahan itu juga meningkatkan belanja negara Rp10,2 triliun.
Dalam pertengahan tahun ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan rupiah yang melemah memberikan tekanan pada APBN, terutama perihal belanja negara dan pembiayaan.
Pada saat yang sama, penerimaan negara terus merosot akibat kelesuan harga komoditas di kala belanja negara terus melejit. Termasuk untuk pembayaran gaji ke-13 pegawai negeri, pengucuran bantuan sosial, pengeluaran Kementerian/Lembaga. Ini yang membawa defisit APBN tahun ini diperkirakan akan mencapai 2,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB), tertinggi sejak 2005 di luar angka defisit saat krisis akibat Pandemi Covid-19.
Sri Mulyani menyebutkan, pada Semester 1-2024 terjadi penurunan penerimaan negara terutama karena setoran pajak badan usaha (PPh Badan) korporasi berbasis komoditas yang susut.
Korporasi di sektor sumber daya alam itu, termasuk di sektor tambang nikel dan minyak kelapa sawit mentah (CPO). Penurunan harga di pasar mempengaruhi kinerja perusahaan-perusahaan tersebut. "Mereka [korporasi] masih profitable, tapi profitnya menurun sehingga penerimaan pajak turun juga dari sisi PPh. Juga ada faktor restitusi [pajak]," kata Sri Mulyani dalam rapat bersama Badan Anggaran DPR-RI hari ini, Senin (8/7/2024).
Ani, demikian Bendahara Negara ini biasa disapa, menyebut, belanja pemerintah diprediksi masih naik 9% sampai akhir tahun.
Beberapa pos belanja mengalami kenaikan di antaranya pengeluaran untuk subsidi pupuk, pengeluaran untuk bantuan sosial juga naik, ditambah pengeluaran belanja pegawai seperti pengucuran gaji ke-13 juga Tunjangan Hari Raya.
"Juga beberapa akselerasi proyek-proyek yang ingin diselesaikan serta realisasi dari pinjaman luar negeri, dari Kementerian dan Lembaga. Jadi, [defisit yang membesar] kombinasi itu tadi," jelas Ani.
Defisit APBN 2024 diprediksi mencapai Rp609,7 triliun, naik dari perkiraan semula Rp522,8 triliun. Pengeluaran negara membengkak dari Rp3.325,1 triliun menjadi Rp3.412,2 triliun.
Belanja pemerintah pusat meningkat terutama untuk belanja K/L yang naik Rp108 triliun menjadi Rp1.198,8 triliun. Lalu, belanja subsidi energi dan kompensasi juga naik Rp37,1 triliun dari target.
Pada saat yang sama, pendapatan negara diprediksi naik sedikit dari Rp2.802,3 triliun menjadi Rp2.802,5 triliun. Penerimaan pajak diprediksi turun sebesar Rp66,9 triliun menjadi Rp1.921,9 triliun. Pendapatan bea cukai juga dipangkas Rp24,5 triliun menjadi Rp296,5 triliun.
(dov/lav)





























