Bloomberg Technoz, Jakarta - Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi mengatakan terdapat 2 smelter nikel berbasis high pressure acid leaching (HPAL) yang sedang dibangun di Teluk Weda, Maluku Utara; terlepas dari hengkangnya 2 investor Eropa —BASF SE dan Eramet SA — di proyek Sonic Bay.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto tidak menjelaskan dengan lengkap mengenai kelanjutan proyek Sonic Bay usai ditinggal BASF dan Eramet awal pekan ini.
Namun, Seto memastikan terdapat 2 smelter HPAL yang sedang dibangun dengan kapasitas dua kali lebih besar dibandingkan dengan proyek Sonic Bay yang sedianya digarap kedua korporasi Eropa itu.
“Di Weda Bay sekarang ada 2 [smelter] HPAL yang sedang dibangun dengan kapasitas dua kali lebih besar dari proyek BASF dan Eramet,” ujar Seto kepada Bloomberg Technoz, dikutip Rabu (26/6/2024).

Sebagai gambaran, Sonic Bay sendiri merupakan smelter nikel/kobalt berbasis HPAL yang pada awalnya dirancang untuk memproses sebagian bijih dari tambang Weda Bay Nickel demi menghasilkan produk antara nikel dan kobalt.
Kapasitas pengolahannya mencapai sekitar 60.000 ton nikel dan 6.000 ton kobalt yang terkandung dalam endapan campuran hidroksida yang dikenal sebagai mixed hydroxide precipitates (MHP), yang digunakan sebagai bahan baku baterai electric vehicle (EV).
Proyek Sonic Bay direncanakan dengan nilai investasi US$2,6 miliar (sekitar Rp42,64 triliun asumsi kurs saat ini) oleh BASF dan Eramet.
Adapun, 2 smelter HPAL di Weda Bay yang dimaksud Seto adalah milik Tsingshan Group dan konsorsium Indonesia dan China yang lain. Namun, Seto belum menjelaskan dengan lengkap mengenai proyek smelter yang dimaksud.
Berdasarkan situs resmi Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), terdapat setidaknya 3 tenant di kawasan tersebut, seperti PT Weda Bay Nickel (WBN), PT Yashi Indonesia Investment, dan PT Youshan Nickel Indonesia.
Megaproyek smelter nikel hidrometalurgi Sonic Bay di Teluk Weda, Maluku Utara, resmi ditinggalkan kedua investornya dari Eropa, yakni BASF SE dan Eramet SA.
Kabar tersebut pertama kali terdengar usai BASF mengunggah pernyataan resmi untuk mundur dari proyek senilai US$2,6 miliar (sekitar Rp42,64 triliun asumsi kurs saat ini) itu.
“Setelah melakukan evaluasi menyeluruh, kami menyimpulkan bahwa kami tidak akan melaksanakan proyek pemurnian nikel-kobalt di Teluk Weda,” tulis BASF SE dalam pernyataannya, dikutip Rabu (26/5/2024).
Selang beberapa waktu, Eramet juga mengumumkan untuk mundur dari proyek. Namun, perusahaan asal Prancis tersebut menyatakan akan terus mengevaluasi investasi potensial dari rantai nilai baterai kendaraan listrik atau EV berbasis nikel di Indonesia.
Dalam pernyataan resminya, BASF –perusahaan kimia terbesar di dunia asal Jerman– mengatakan ketersediaan nikel berkualitas baterai secara global telah meningkat sejak proyek ini dimulai. Dengan demikian, perusahaan tidak lagi melihat perlunya investasi sebesar itu.
Di lain sisi, Eramet dalam pernyataan resmi belum mengungkap alasan yang melandasi keputusan hengkang tersebut.
Namun, Eramet dalam pernyataan tertulis ke Bloomberg Technoz mengungkapkan bahwa keputusan hengkangnya setidaknya dilandasi oleh 3 alasan.
Pertama, strategi eksekusi terkait proyek dengan BASF. Eramet menyatakan tidak berhasil mendapatkan skema eksekusi yang memuaskan, termasuk syarat dan ketentuan kontrak.
Kedua, alokasi modal. Dalam hal ini, Eramet ingin berpartisipasi dalam rantai nilai baterai di Indonesia, tetapi juga selektif dengan alokasi modal.
“Pada saat yang sama, Eramet juga sedang mengkaji peluang lain untuk rantai nilai EV, seperti nikel, lithium, dan kobalt,” terang perusahaan dalam pernyataan tertulis ke Bloomberg Technoz.
Ketiga, pasar. Eramet menilai, pasar nikel global telah berubah selama beberapa tahun terakhir. Walhasil, perusahaan juga selektif dalam menambahkan potensi kelebihan kapasitas baru dari nikel kelas baterai.
(dov/wdh)