Bloomberg Technoz, Jakarta - Energi fosil, termasuk bahan bakar minyak (BBM) dipercaya masih akan dibutuhkan hingga 2050, kendati dunia tengah memasuki tren transisi menuju penggunaan energi baru terbarukan yang rendah emisi.
Sehubungan dengan proyeksi tersebut, Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal mengatakan target produksi siap jual atau lifting minyak Indonesia yang makin turun tidak semata-mata mencerminkan rencana pemerintah untuk beralih dari energi fosil.
“Energi fosil itu lewat 2030, 2040, mungkin lewat 2050 masih naik terus kebutuhan fosil [seperti] batu bara, minyak, dan gas. Walaupun gas akan dominan, batu bara dan minyak masih sangat dibutuhkan terutama di negara berkembang,” ujar Moshe saat dihubungi, Rabu (22/5/2024).
Moshe tidak menampik saat ini Indonesia memang juga tengah gencar dalam mendorong penggunaan kendaraan listrik atau electric vehicle (EV), tetapi adopsi dan konversinya tentu membutuhkan waktu.

Selain itu, Moshe juga menggarisbawahi besarnya investasi yang mesti digelontorkan untuk infrastruktur pendukung EV. Apalagi, pertumbuhan populasi dan industri makin masif, yang tentu membutuhkan energi lebh besar.
“Walaupun dibilang, ‘Oh sekarang sudah mulai marak electric vehicle dijual dan lain sebagainya’, cuma seberapa besar bisa menggantikan [energi fosil?] Seberapa cepat dia bisa menggantikan [bahan bakar minyak]?,” ujarnya.
Die memberi gambaran populasi dari EV di Amerika Serikat saja hanya 2% dibandingkan dengan mobil konvensional atau internal combustion engine (ICE). AS padahal sudah masif mengembangkan EV sejak 15 tahun lalu dengan kehadiran Tesla Inc.
Selain itu, infrastruktur di AS lebih mumpuni, di mana Negeri Paman Sam tersebut memiliki lebih dari 150.000 area Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU).
“Jadi untuk menutupi kebutuhan energi yang meningkat luar biasa setiap tahun, mau tidak mau kita harus tetap bergantung kepada bahan bakar fosil,” ujarnya.
“Kalau kita tidak bisa produksi sendiri, mau tidak mau kita harus impor. Kenapa? Karena kita tidak bisa mengorbankan ekonomi kita, cuma hanya kita mau lebih hijau misalkan, ekonomi jauh lebih penting bagi masyarakat kita.”

Keamanan Pasok
Dalam kaitan itu, Moshe meyakini pasokan energi fosil masih cukup untuk memenuhi permintaan hingga 2050, baik dari produksi dalam negeri atau melalui impor.
Namun, dia juga tidak menampik bahwa produksi energi fosil bakan makin sulit dan mahal. “Kenapa? Lapangan-lapangannya sudah dua, jadi harus mengebor lebih dalam lagi, harus mencari lebih dalam lagi, harus [beralih] dari onshore mulai mencari di offshore, dari barat harus mulai mencari ke timur, dan sebagainya,” ujar Moshe.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan lifting minyak berada pada rentang 580.000—601.000 barel per hari (bph) dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) RAPBN 2025.
Sementara itu, lifting gas diproyeksikan berada pada rentang 1.004 hingga 1.047 barel setara minyak per hari (bsmph).
Proyeksi lifting minyak 2025 makin turun dari asumsi dasar ekonomi makro yang termaktub dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) 2024 yang dipatok sebesar 635.000 bph. Proyeksi ini juga sekaligus makin menjauhi target 1 juta bph.
Sebelumnya, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengatakan target produksi siap jual atau lifting minyak Indonesia sebanyak 1 juta barel pada 2030 dipastikan mundur selama 2 hingga 3 tahun.
(dov/wdh)