Logo Bloomberg Technoz

Rupiah lebih buruk dibandingkan rupee India yang saat ini mencatat pelemahan 0,23% dibanding akhir tahun lalu, juga peso Filipina yang tergerus 1,63%, dong Vietnam yang melemah 2,15% sepanjang tahun ini juga yuan China yang tergerus 1,75% year-to-date

Sementara pelemahan rupiah hanya lebih baik bila dibandingkan ringgit Malaysia (-3,04%), won Korea Selatan (-3,88%) dan baht Thailand (-5,9%). 

"Kami perkirakan intervensi valas besar-besaran akan terjadi pada bulan-bulan mendatang sejurus dengan kedatangan siklus tekanan pada rupiah," kata Head of Equity Research Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro, dalam catatannya hari ini.

Memasuki April-Mei, permintaan dolar AS di pasar akan semakin besar sejurus dengan jadwal pembayaran dividen korporasi, kedatangan jadwal pembayaran utang luar negeri jatuh tempo, disusul peningkatan impor terdorong oleh kenaikan permintaan di puncak musim perayaan Idulfitri bulan depan. Impor BBM Pertamina biasanya meningkat, begitu juga impor barang konsumsi.

Meski kenaikan harga komoditas belakangan ini cukup tinggi, akan tetapi sepertinya belum cukup mengimbangi kenaikan permintaan dolar di pasar sehingga membuat rupiah tetap tertekan lonjakan permintaan dolar AS belakangan.

BI Rate Bisa Naik Lagi?

Para pemodal asing masih menjauhi aset-aset rupiah baik di saham maupun surat utang negara sejauh ini. Tiga hari berturut-turut, investor asing membukukan posisi jual di bursa saham, senilai total Rp1,58 triliun selama 25-27 Maret. 

Sedangkan di pasar SBN, asing membukukan nilai jual bersih hingga Rp5,28 triliun dalam sehari yaitu pada perdagangan 25 Maret lalu, nilai net sell tertinggi sejak Mei 2023. Bila ditotal, pemodal asing menjual sedikitnya Rp6,86 triliun surat utang dan saham, pekan ini saja.

Yield INDOGB, surat utang negara berdenominasi rupiah tenor 10 tahun telah naik 25,3 bps sepanjang tahun ini di mana pada Maret saja kenaikannya mencapai 12,8 bps. Siang ini, yield INDOGB 10Y terpantau bergerak di kisaran 6,72-6,73%.

Sedang tenor pendek INDOGB 2 tahun mencatat kenaikan yield 10,3 bps bulan ini, walau bila menghitung year-to-date tercatat penurunan 15 bps. Adapun obligasi korporasi RI dengan peringkat AAA tenor 10 tahun tercatat sudah naik yield-nya hingga 31,9 bps.

Animo asing yang semakin susut itu kemungkinan dipengaruhi oleh kekhawatiran investor terhadap risiko pelebaran defisit fiskal pada pemerintahan baru hasil pemilu nanti. Ditambah dengan kini berlangsung sidang gugatan hasil pilpres di Mahkamah Konstitusi yang juga memberikan sentimen negatif meski mungkin dalam jangka pendek.

"Ketidakpastian politik mungkin masih akan mendorong perusahaan swasta membawa pulang pendapatan mereka [dari dividen] ketimbang menginvestasikannya lagi di pasar domestik. Selain itu, pemerintahan baru juga baru resmi dilantik Oktober nanti, masih ada jeda waktu berbulan-bulan sebelum bocoran susunan kabinet keluar berikut platform kebijakan ekonomi bisa benar-benar dicerna oleh para investor," kata Satria.

Bulan-bulan ini akan menjadi masa kritis bagi rupiah dan tidak menutup kemungkinan akan mengubah posisi kebijakan BI pada bulan-bulan mendatang, termasuk melalui kenaikan BI rate bila pelemahan rupiah semakin parah dan kondisi ketidakpastian global kian merugikan rupiah. 

Terutama juga ketika posisi cadangan devisa sudah tergerus hingga US$12 miliar seperti yang terjadi di kala BI rate tiba-tiba dinaikkan jadi 6% Oktober lalu.

"Keputusan Oktober itu berjarak enam bulan setelah BI aktif mengintervensi pasar dan setelah cadangan devisa turun sampai US$12 miliar," kata Satria.

BI akan menggelar Rapat Dewan Gubernur bulanan pada 23-24 April mendatang. Dua bulan berturut-turut cadangan devisa RI turun dan terakhir ada di posisi US$144 miliar.

Mengacu pada data historis, rupiah biasanya cenderung menguat setelah musim perayaan terbesar, Ramadan dan Idulfitri, berlalu. Dibandingkan MSCI Emerging Market Currency Index pada April tahun lalu, rupiah masih mencatat kenaikan 2,1%, lalu sebesar 0,7% pada Mei 2022, 0,5% pada Juni 2019 dan 1,3% pada Juni 2018. Namun, dengan masih adanya sentimen ketidakpastian politik ditambah tekanan ketidakpastian global, risiko pelemahan rupiah masih terbenatng.

"Apakah BI akan mengejutkan pasar lagi kali ini akan tergantung pada faktor global tapi kami menilai kemungkinannya saat ini adalah cenderung menaikkan, bukan menurunkan, BI rate pada kuartal II-2024," kata Satria.

Perekonomian AS masih akan kuat jelang penyelenggaraan pemilu pada November nanti ditambah dengan inflasi yang masih kuat dan tingginya emisi surat utang AS. Dari dalam negeri, inflasi domestik juga berpotensi naik akibat imported inflation yang didorong kenaikan harga minyak dunia dan komoditas lain. 

(rui/aji)

No more pages